Ongkos Politik Harus Diatur Dalam Undang-undang
Ekses dari penerapan sistem Pemilu dengan proporsional terbuka adalah ongkos atau biaya politik dalam kampanye Pemilu 2014 akan membengkak. Antar caleg dipastikan saling bersaing ketat, tidak saja menyangkut konsep dan program yang ditawarkan, tapi juga dana besar yang harus dikeluarkan. Untuk itu, perlu diatur dalam undang-undang tersendiri.
“Itu yang sebenarnya kita inginkan. Pertarungan sangat sengit dalam Pemilu mendatang.Kalau Pemilu legislative, disamping antarpartai, yang lebih dahsyat terjadi di internal partai.”Demikian disampaikan Anggota Komisi II DPR RIYasonna H. Laoly (F-PDI Perjuangan) kepada Parlementaria baru-baru ini di sela-sela rapat Komisi II.
Menurut Yasonna, sebetulnya ada keinginan dari fraksinya untuk mengatur biaya politik yang terlalu tinggi ini dalam setiap Pemilu. Ongkos politik yang tinggi tidak saja membebani anggaran negara, tapi juga para caleg yang bertarung dalam Pemilu. Cara yang paling efektif mungkin memperkecil luasan daerah pemilihan (dapil). Selama ini, para caleg harus menguasai 2 sampai 3 kabupaten dalam satu dapil. Tentu saja ini menguras ongkos politik yang sangat mahal.
“Sebetulnya memperkecil daerah pemilihan itu dengan jumlah kursi. Sehingga bidang luasan daerah yang mau kita kuasai ataupun kita konsolidasi untuk merebut itu menjadi lebih kecil.Dan tentunya biaya juga akan menjadi lebih kecil,” ungkap Yasonna. Dalam pertemuan dengan KPU, lanjut Yasonna, Komisi II berharap ada pengaturan biaya kampanye. Misalnya, dengan membatasi pemasangan baliho.
“Kampanye akbar saya kira juga perlu dibatasi, karena sekarang sudah tiba waktunya orang lebih pada kampanye memperkenalkan track record seseorang, mendatangi masyarakat untuk meyakinkan bahwa calon tersebut mempunyai rekam jejak yang bagus dan mau bekerja keras untuk kepentingan rakyat.Jadi, pembatasan itu perlu,” ia menandaskan (mh) foto :wahyu/parle