RUU Pertanahan Harus Mampu Menjadi Solusi Konflik Tanah
Anggota Komisi II Zainun Ahmadi menyatakan Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan harus bisa menjadi solusi untuk menyelesaikan berbagai konflik pertanahan atau konflik agraria.
Menurut Zainul, RUU Pertanahan harus secara tegas memuat tiga hal pokok, yakni kepastian hak atas tanah, perencanaan penggunaan tanah, serta pengakuan dan penghormatan negara atas hukum adat terkait dengan penguasaan dan kepemilikan tanah ulayat atau adat, maupun tanah yang menjadi waris turun temurun secara adat.
"RUU Pertanahan ini kelak harus menjadi solusi atas konflik agrarian atau konflik pertanahan yang selama ini terjadi sekaligus mengeliminir potensi konflik pertanahan di kemudian hari,” ujar Zainun pada Forum Legislasi di Pressroom, Gedung Nusantara III, Selasa (30/4)
Namun, ia juga mengusulkan agar dibentuk Kementerian atau Komisi yang secara khusus menangani penyelesaian konflik pertanahan atau agraria. Ia menilai, selama ini konflik pertanahan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) banyak yang belum terselesaikan dan malah menambah konflik baru.
“Saya pesimis RUU Pertanahan ini akan selesai dan mampu menyelesaikan seluruh konflik pertanahan, karena terkait UU sektoral lainnya. Seperti kehutanan, perkebunan, tambang, sumber daya alam. Untuk itu diperlukan kementerian agraria dan atau komisi khusus yang memiliki otoritas kewenangan tanah, tanpa harus ke pengadilan. Tapi sekarang kita fokuskan dulu di tanah untuk ke depan lebih ada penyempurnaan lagi," tandas Zainun.
Anggota Panja RUU Pertanahan inimencontohkan, konflik tanah yang menumpuk di BPN, meski Kepala BPN telah mendapat instruksi resmi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk pendistribusian tanah dan menyelesaikan konflik tanah dengan membentuk tim sebelas, namun konflik terus bertambah dan tak terselesaikan.
Zainun menambahkan, pemerintah sudah membahas RUU Pertanahan sejak tahun 2000. Namun tak pernah diserahkan ke DPR. Sehingga DPR mengambil inisiatif membuat RUU Pertanahan. Namun, proses lama tersebut belum dapat memberikan jaminan untuk penyelesaian masalah pertanahan, walaupun RUU itu dinilai lebih kompleks dan melibatkan lintas komisi.
“Saat ini Komisi II lebih mengutamakan pembahasan RUU Pertanahan, karena merupakan salah satu bidang tugasnya. Sedangkan untuk membuat RUU Pokok Agraria harus melibatkan lintas komisi, seperti Komisi IV karena terkait kehutanan, atau Komisi I karena banyak lahan juga yang bermasalah dengan TNI,” ujar Zainun. (sf) foto:wahyu/parle