DPR DIMINTA SINEAS FILM TIDAK TERGESA-GESA SAHKAN RUU PERFILMAN
DPR diminta tidak tergesa-gesa mensahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Perfilman menjadi Undang-undang. Pasalnya, draft RUU masih tersirat film sebagai industri dan bukan sebagai strategi budaya. Ini mejadi penting mengingat heritage Indonesia banyak yang diklaim negara tetangga.
“Kami sangat mendukung RUU Perfilman, tetapi ada hal yang perlu dirembug bersama dengan pemangku kepentingan,” ujar artis senior dan produser film Christine Hakim saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi X DPR yang dipimpin Mujib Rohmat (F-PG) di dampingi Heri Akhmadi (F-PDIP), Irwan Prayitno (F-PKS), dan Abdul Wahid Hamid (F-PKB), Nusantara I, Senin (31/8).
Menurut Christine, hasil terbaik harus diselamatkan agar melahirkan kemajuan perfilman yangs angat potensial untuk mendukung perekonomian. Ia meminta DPR untuk bekerja lebih cepat dan pihaknya akan siap untuk mendampingi. “UU jangan sampai menghambat perkembangan para sineas perfilman,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan Abdul Aziz sebagai Direktur Program IKJ, dimana UU terlihat lebih mengatur tata niaga dan belum mengatur strategi kebudayaan. Paradigma UU film harus ditinjau bukan masalah ekonomi. “ Indonesia tidak punya strategi budaya dengan intensitas apa yang mau dicapai,” katanya.
Mewakili Komunitas Perfilman Indonesia, Mira Lesmana produser film mengatakan mereka mendukung inisiatif untuk mengubah UU No.8 Tahun 1992 tentang perfilman dengan beberapa syarat seperti pembahasan substansi dalam RUU Perfilman.
Pihaknya meminta Komisi X DPR untuk menyosialisasikan setiap tahap pembahasan RUU Perfilman sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada public. Tindakan sosialisasi ini harus dilakukan dengan menyediakan waktu yang cukup agar para pemangku kepentingan dapat memberikan pertimbangannya.
Mira menilai draft RUU Perfilman belum secara spesifik mencantumkan kewajiban pemerintah dalam memfasilitasi kemajuan pendidikan perfilman dan secara sistematik memberikan insentif langsung bagi industri film Indonesia. “Padahal dua factor itu menjadi kunci dalam pengembangan perfilman nasional,” katanya.
Peran negara dalam RUU ini menunjukkan intensitas pengekangan melalui birokrasi perfilman yang tidak mencerminan semangat membangun industri kreatif yang sedang diupayakan pemerintah.
Sedangkan Ahmad Fuadi aktor senior dan ketua umum Persatuan Artis Seluruh Indonesia (PARSI) lebih menyoroti Pasal 59 dalam RUU Perfilman tentang Lembaga Sensor yang berjumlah 17 orang dinilai tidak memadai.
“Apakh cukup lembaga sensor hanya beranggotakan 17 orang, harusnya bisa mewakili semua elemen masyarakat kalau bisa 45 orang,” katanya. Lembaga sensor merupakan tempat yang sangat riskan, oleh sebab itu jangan hanya melibatkan orang film.
Menanggapi masalah lembaga sensor, Heri Akhmadi (F-PDIP) mengatakan jika nanti ketujuh belas anggota lembaga sensor bertugas secara fungsioner seperti lembaga fungsioner lainnya. Anggota hanya mengarahkan tetapi pelaksanaanya dibantu oleh tenaga ahli. (da)