KOMISI II SEPAKAT KASUS PILKADA BENGKULU SELATAN DIBAWA PADA RAPAT DENGAN MENDAGRI
03-02-2009 /
KOMISI II
Komisi II DPR RI sepakat kasus Pilkada Kabupaten Bengkulu Selatan akan dibawa pada Rapat Kerja dengan Menteri Dalam Negeri. Kesepakatan ini diambil karena adanya reaksi penolakan secara luas dari elemen masyarakat terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Pilkada Bengkulu Selatan batal demi hukum.
Demikian salah satu kesimpulan rapat yang disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR H. Eka Santosa (F-PDIP) saat menerima jajaran DPRD Kabupaten Bengkulu Selatan, dan segenap elemen masyarakat, Selasa (3/2) di gedung DPR.
Kebetulan, kata Eka, Komisi II akan mengadakan Rapat Kerja dengan Menteri Dalam Negeri esok hari (Rabu 4/2) dan Komisi II akan menyampaikan permasalahan ini kepada Mendagri.
Selain dengan Mendagri, Komisi II juga memiliki kewenangan untuk meminta keterangan, penjelasan bahkan bisa minta sikap kepada pihak-pihak terkait lainnya, seperti memanggil Gubernur, termasuk juga KPUD yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pilkada di Bengkulu Selatan.
Pada kesempatan tersebut Wakil Ketua DPRD Bengkulu Selatan H. Syarifuddin Sabana menjelaskan pelaksanaan Pilkada di Bengkulu Selatan yang berlangsung dalam dua putaran.
Putaran ke dua dilaksanakan karena pada putaran pertama tidak ada pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mencapai perolehan 30 persen sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Ke dua atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Sabana menuturkan, pelaksanaan pilkada putaran ke dua telah dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Bengkulu Selatan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku secara baik dan benar.
Hasil Pilkada putaran ke dua menetapkan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih adalah H. Dirwan Mahmud dan H. Hartawan dengan perolehan suara 39.069 (51,7%).
Keputusan KPU Kabupaten Bengkulu Selatan dengan Nomor : 59 Tahun 2008 tersebut telah digugat pasangan H. Reskan Effendi dan Rohidin Mersyah ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada tanggal 8 Januari 2009, MK mengeluarkan keputusan dengan Nomor: 57/PHPU.D-VI/2008 yang menyatakan Pilkada Kabupaten Bengkulu Selatan periode 2008-2013 batal demi hukum.
Untuk selanjutnya, MK memerintahkan kepada KPU Kabupaten Bengkulu Selatan untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang yang diikuti seluruh pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, kecuali pasangan H. Dirwan Mahmud selambat-lambatnya satu tahun sejak putusan itu dikeluarkan.
Namun, kata Sabana, keputusan MK ini telah mengundang reaksi dari masyarakat yang disampaikan kepada DPRD Kabupaten Bengkulu Selatan yang menilai Putusan MK tersebut telah merampas rasa keadilan, hak demokrasi dan otonomi daerah sebagaimana tersirat dan tersurat pada Pancasila dan UUD 1945.
Masyarakat Bengkulu Selatan juga menolak Pilkada ulang dan mengusulkan agar calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih masa jabatan 2009-2014 atas nama H. Dirwan Mahmud dan H. Hartawan diangkat menjadi Bupati dan Wakil Bupati Bengkulu Selatan sesuai dengan Keputusan KPU Kabupaten Bengkulu Selatan.
Berdasarkan aspirasi masyarakat Bengkulu Selatan inilah kami mengusulkan pengesahan pengangkatan Bupati dan Wakil Bupati terpilih. “Kami tidak dapat menjamin keamanan dan ketertiban jika aspirasi masyarakat ini tidak dikabulkan,†kata Sabana.
Untuk itu, demi menegakkan demokrasi dan terlaksananya otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dan demi keamanan dan kesinambungan pembangunan Kabupaten Bengkulu Selatan, masyarakat menuntut agar pelantikan calon terpilih segera dilaksanakan.
Sabana menambahkan, sebenarnya DPRD Bengkulu Selatan telah mengusulkan pengesahan ini kepada Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Bengkulu, namun hingga saat ini belum ada tindak lanjutnya.
Menanggapi Keputusan MK tersebut, anggota Komisi II dari F-PDIP Eddy Mihati mengatakan Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut sebenarnya keputusan yang melampaui kewenangan dari MK.
Menurut Eddy, apa yang dilakukan DPRD Kabupaten Bengkulu Selatan yang membawa aspirasi masyarakat itu bukan upaya melawan hukum, akan tetapi sebagai upaya penegakan hukum dari perlakuan-perlakuan yang tidak semestinya.(tt)