Perkembangan Rute Indonesia-India Rawan Kejahatan
Perkembangan rute perjalanan internasional antara Indonesia dan India telah lama memunculkan kerawanan kejahatan. Untuk itulah, perlu payung hukum bagi kedua negara untuk menindak kejahatan yang melibatkan warga negara di kedua negara tersebut.
Ratifikasi pengesahan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan India sudah lama dibicarakan. Dan puncaknya, pada Selasa, (24/6), DPR mengesahkan RUU ekstradisi Indonesia-India menjadi undang-undang lewat Rapat Paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso.
“Ratifikasi ekstradisi Indonesia dengan India ini sebenarnya tindak lanjut dan penguatan hubungan bilateral kedua negara. Dan kebutuhan kita untuk meratifikasi ini karena tingkat lalu lintas orang antarkedua negara ini semakin tinggi,” kata Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq yang ditemui sebelum Rapat Paripurna DPR.
Dengan meningkatnya rute perjalanan, kerawanan pun kerap muncul. Inilah yang harus diantisipasi oleh kedua negara dengan mengesahkan perjanjian ekstradisi. “UU ini lebih sebagai instrumen nmengantisipasi perkembangan-perkembangan ke depan. Dari kondisi sekarang sebenarnya nyaris kasus-kasusnya sangat sedikit,” ungkap Mahfudz.
Sementara itu soal perjanjian ekstradisi dengan Singapura yang terus tertunda bertahun-tahun, Anggota F-PKS ini, menyatakan, masalah tersebut jadi PR pemerintah untuk mendesak pemerintah Singapura agar segera menyelesaikan perjanjian ekstradisinya dengan Indonesia. Terhambatnya perjanjian ekstradisi ini, lantaran pihak Singapura menuntut ada paket lain dalam klausul perjanjian ekstradisi tersebut.
Paket perjanjian tersebut adalah soal kerja sama pertahanan berupa Defense Cooperation Agreement (DCA) yang ditawarkan Singapura kepada Indonesia. Paket perjanjian itu banyak ditentang pihak Indonesia, karena mengganggu kedaulatan Indonesia. Pihak Singapura menginginkan tempat latihan perang militernya di Indonesia.
“Dulu kita ingat Singapura menjadikan perjanjian ekstradisi ini satu paket dengan DCA. Indonesia masih keberatan dengan klausul-klausul dalam perjanjian kerja sama pertahanan. Itu masih menggantung. Selanjutnya, bisa dilakukan langkah-langkah percepatan,” urai Mahfudz. (mh), foto : naefurodjie/parle/hr.