KOMISI VI MENDORONG PERCEPATAN PENINGKATAN INDUSTRI DALAM NEGERI
Komisi VI DPR RI menginginkan percepatan perkembangan industri dalam negeri sehingga memiliki nilai daya saing yang tinggi dalam menghadapi globalisasi. Dengan membaiknya sektor industri dapat meningkatkan devisa dan mengurangi defisit anggaran negara.
Ketua Komisi VI Airlangga Hartarto saat memimpin Rapat kerja dengan Menteri Perindustrian Moh. Suleman Hidayat, Rabu (25/11), di Gedung DPR RI Jakarta, mengatakan telah dilakukan penyusunan RAPBN 2010, dimana Pemerintah dan DPR RI telah menyepakati asumsi dasar. “Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp. 5.200 trilun sampai dengan Rp. 5.300 triliun, inflasi 6,2%, nilai tukar rupiah pada kisaran Rp.9.500 sampai Rp.10.500, Suku Bunga Bank Indonesia (SBI) 6% sampai 7,5%, dan telah ditetapkan deficit anggaran sebesar 1,5% sampai dengan 2%,” jelasnya.
Anggota Komisi VI Edhi Prabowo mendorong peningkatan peran IKM terhadap PDB dan terlaksananya Program 100 hari mengenai penyempurnaan Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ekspor Rotan.
Pengrajin rotan kekurangan bahan baku, menurutnya harus ada penyelesaian yang cepat mengenai penyediaan bahan baku rotan di masyarakat., anggota dari Fraksi Partai Gerindra itu, meminta kepada Pemerintah segera mencarikan jalan keluar atas kekurangan bahan baku pengrajin rotan tersebut. “Pengerajin harus dapat bergerak kembali, sediakan kekurangan bahan baku,” tegasnya.
Untuk meningkatkan nilai tambah bagi industri dalam negeri, sehingga kita harus menghemat devisa negara. Namun dia mengungkapkan salah satu BUMN di Aceh Utara Loksumawe terdapat PT. Kertas Kraff Aceh (KAA) yang hingga kini belum memperlihatkan perkembangan yang mengarah memperoleh keuntungan. Dia melihat adanya peluang pada perusahaan tersebut.
Setiap tahun Indonesia membutuhkan lebih dari 200 ribu ton kertas craff yang digunakan sebagai bahan baku kantong semen, sedangkan hingga kini masih impor. Yang terjadi pada perusahaan itu, menurutnya hanya karena kesalahan managemen dan kekurangan bahan bakar gas, sedangkan bahan baku kayu pinus telah dapat dipenuhi dari wilayah sekitar.
Selain itu, Edhi mengutarakan ada 27 daerah yang menginginkan untuk ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus. Dia mengkhawatirkan apabila adanya pembatasan pembentukan KEK tersebut oleh Pemerintah. Hal itu akan menimbulkan kecemburuan satu daerah dengan daerah lain. “Pemerintah dapat memberikan sosialisasi atas syarat ditetapkannya suatu daerah menjadi KEK,” tambahnya.
Anggota Komisi VI lainnya, Ferari Roemawi menanggapi kesiapan industri Indonesia dalam menghadapi persaingan bebas. menurutnya masih adanya 10 sektor industri yang belum siap dalam kerangka ASEAN Free Trade Area (AFTA), yaitu besi, baja, petrokimia, benang dan kain, holtikultura, makanan dan minuman, alas kali, elektronik, kabel, serat sintetis dan mainan. Pemerintah harus melindungi kepada industri yang belum miliki daya saing. “Departemen Perindistrian harus memiliki ukuran indeks daya saing industri, sehingga dapat mengetahui tingkatan daya saing industri.” Anggota dari Fraksi Partai Demokrat itu.
Lanjutnya, berkembangnya sektor industri tidak terlepas dari dukungan listrik. Untuk itu, Departemen Perindustrian harus berkoordinasi dengan PT. PLN. Jika perlu menurutnya kawasan perindustrian dapat diberikan kebebasan untuk dapat mengelola listriknya sendiri.
Selain itu, Ferari meninginkan pembangunan sektor maritime, galangan kapal pada khususnya. “Masih mengnyedihkan industri galangan kapal, mohon ada perhatian khusus, dikarenakan Indonesia merupakan wilayah maritime, kebutuhan angkutan kapal sangat besar,” teganya.
Nuroji dari Fraksi partai Gerindra, menginginkan Pemerintah memperhatikan pembangunan industri pengolahan pertanian, “75% petani sehingga hasil pertanian dapat diolah di dalam negeri,” katanya.
Menteri Perindustrian Moh. Suleman Hidayat, memprogramkan dalam kurun waktu 2010-2014 telah terjadi pergeseran penyebaran industri ke luar Pulau Jawa. Share Pulau Jawa diharapkan menurun dari angka tahun 2009 sebesar 75% menjadi 62,79% pada tahun 2014. Penurunan share ini diharapkan akan berlanjut terus hingga mencapai 54,66% pada tahun 2020, dan 47,65% pada tahun 2025. Sebaliknya, peran industri di luar Pulau Jawa diharapkan mengalami peningkatan.
Share di Pulau Jawa diharapkan meningkat dari angka tahun 2009 sebesar 25% menjadi 27,19% pada tahun 2014. Peningkatan share diharapkan akan berlanjuy terus hingga mencapai 45,34% pada tahun 2020, dan 52,35% pada tahun 2025.
Dalam rangka mencapai sasaran itu, dibutuhkan investasi selama tahun 2010-2014 sekitar Rp.735.956,48 juta atau rata-rata Rp.147.191,30 juta per tahun.
Dengan sasaran pertumbuhan yang telah ditetapkan diharapkan dapat menyerap tenaga kerja sekitar 3.224.275 orang vatau rata-rata 644.855 orang per tahun. (as)