Secara filosofis, penyelenggaraan pemerintahan adalah untuk mewujudkan tujuan bernegara. Penyelenggaraan pemerintahan negara dan pelaksanaan pelayanan publik merupakan satu kesatuan yang utuh dalam rangka mencapai tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). Upaya mencapai tujuan bernegara tersebut dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang diimplementasikan dalam bentuk pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara yang dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab.
Dalam konsepsi sosiologis, UU Nomor 17 Tahun 2003 menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya, khususnya berkaitan dengan gejala sosial ekonomi yang berkembang. Gejala tersebut misalnya menguatnya konsepsi badan hukum dan meningkatkan peranan daerah dalam pelaksanaan pembangunan. Adanya perubahan UU Nomor 17 Tahun 2003 hakikatnya menekankan pada kontektualisasi Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang memberikan batasan wujud keuangan negara, yaitu hanya anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Adanya perubahan tersebut ikut memberikan andil dalam memperjelas ruang lingkup keuangan negara itu sendiri. Dengan demikian, terurai secara tuntas batasan atau definisi terhadap suatu pengertian keuangan negara secara tegas dan bertanggung jawab. Dalam praktiknya dewasa ini, ketidakpastian pendefinisian keuangan negara yang bersifat normatif dalam berbagai peraturan perundang-undangan menimbulkan kerumitan tersendiri bagi pemerintah dan pihak lainnya, sehingga sulit untuk ditemukan kesatuan pandang untuk memahami atau memilih salah satu konsep yang ada dan dianggap benar.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara tidak menjawab semua permasalahan mengenai keuangan negara, khususnya yang berkaitan dengan definisi keuangan negara yang berdampak multi tafsir, dan menimbulkan resiko fiskal (fiscal risk) maupun ketidakpastian fiskal (fiscal uncertainty) yang berdampak merugikan keuangan yang bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan jumlah yang tidak terbatas maupun tidak pasti bilamana terjadinya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut sangat penting untuk meninjau ulang Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 mengingat bilamana hal ini dibiarkan akan berdampak sangat serius terhadap kepastian hukum, keadilan maupun akuntabilitas pengelolaan keuangan baik yang bersumber pada APBN, APBD maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Usaha Milik Daerah (BUMD). Merumus-ulang mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban, dan pengawasan/pemeriksaan oleh internal maupun eksternal Pemerintah keuangan negara, tidak mungkin terlepas dari perencanaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) sebagai pengganti fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) yang selama ini tidak diadopsi sebagai lembaga yang sangat penting, sehingga sukar menentukan kriteria kinerja pemerintah, parlemen maupun lembaga yudikatif. Dengan sistem legislatif dua kamar (bicameral) yakni DPR-RI dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD-RI), penyebutan secara struktural lembaga legislasi hanya dengan DPR-RI pada waktu ini sudah tidak tepat lagi, sehingga perlu diganti dengan istilah “Parlemen”, yang mencerminkan adanya dua kamar yang terdiri dari DPR-RI dan DPD-RI.
Fraksi Nasdem:
- Terdapatnya begitu banyak Undang-Undang terkait dengan sistem keuangan Negara dan keuangan Daerah yang membutuhkan penyatuan seluruh Undang-Undang tersebut.
- Undang-Undang kodifikasi bertujuan untuk mengatur kembali adanya tumpang tindih pengaturan yang menyebabkan tidak adanya kepastian hukum yang tetap atas keuangan Negara atau ekonomi keuangan Negara.
Perlu kembali dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan, dan disatukan dalam sebuah Undang-Undang yang lebih terkontrol dan terukur