Latar belakang
Potensi kelautan dan perikanan yang dimiliki merupakan potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk masa depan bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi. Pemanfaatan secara optimal dengan tetap memperhatikan aspek kelestariannya akan meningkatkan perolehan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, maupun peningkatan penghasilan, dan kesejahteraan masyarakat, serta fungsi dominan laut sebagai media pemersatu dan perekat kesatuan bangsa. Dalam rangka pendayagunaan potensi kelautan dan perikanan, kebutuhan akan dasar hukum pengelolaan sumber daya ikan sangat penting.
Kehadiran Undang-Undang ini diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya perubahan yang sangat besar di bidang perikanan, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern. Undang-Undang ini juga diharapkan akan meningkatkan pemanfaatan potensi kelautan.
Disamping potensi laut yang dimiliki, berbagai masalah juga terdapat dalam bidang kelautan. Isu dalam pembangunan kelautan dan perikanan antara lain adanya pencemaran laut, gejala penangkapan ikan yang berlebihan, degradasi fisik habitat pesisir, pencurian ikan (illegal fishing) dan pembuangan limbah secara illegal.
Apabila dicermati dari substansinya, UU ini memiliki beberapa kelemahan. Lahirnya UU Perikanan yang di dalamnya mengamanatkan dibentuknya Peradilan Perikanan juga mendapat sorotan publik. Tak kurang Ketua Mahkamah Agung sendiri telah dibuat kaget dengan lolosnya ketentuan dalam UU tersebut, yang konon pembahasannya tidak melibatkan pihak Mahkamah Agung. Kritik terhadap pembentukan pengadilan perikanan juga dilontarkan oleh Pakar Hukum Pidana Indriyanto Seno Adji yang menilai, bahwa pembentukan pengadilan khusus hanya akan menimbulkan kesimpangsiuran dan inkonsistensi atas asas penyatuatapan, di samping melanggar sistematisasi lembaga peradilan yang mengakui MA sebagai top judicial. Dalam pengaturan dan pelaksanaan penyidikan, tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai mekanisme koordinasi antara instansi penyidik.
Apabila dikaitkan dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, akan terjadi benturan kepentingan dalam pengelolaan perikanan dalam sistem desentralisasi ( era otonomi daerah) antara Pemerintah Daerah dan Departemen Kelautan dan Perikanan, karena belum tegasnya pengaturan pengelolaan perikanan, baik perikanan darat maupun perikanan laut, menyangkut batas kewenangan dan pembagian tugas antara Pusat dan Daerah.
Tujuan Penyusunan
- Memberikan masukan yang bersifat substansi maupun secara akademik, sebagai bahan untuk melakukan perubahan UU Perikanan.
- memberikan gambaran mengenai permasalahan di bidang perikanan, khususnya yang berkaitan langsung dengan urgensi perubahan UU Perikanan, dengan disertai alternatif solusi berdasarkan teori, data-data dari penelitian lapangan, dan ketentuan perundang-undangan yang ada, serta sebagai panduan dalam penyusunan dan perumusan pasal-pasal dalam Undang-Undang Perikanan yang baru.
|