Pekerjakan Anak, Reduksi Potensi dan Inteletual Anak
Rencana Menteri Tenaga Kerja menarik sekitar 16 ribu pekerja anak dari pekerjaannya disambut baik oleh DPR. Mereka akan dikembalikan ke dunia pendidikan. Mempekerjakan anak sama saja mereduksi semangat dan kapsitas intektual sang anak.
“Tanpa disadari bahwa usia mereka bila dipaksakan melakukan pekerjaan di luar batas kemampuan usianya, akan mereduksi semangat dan potensi intelektualnya. Di daerah perkebunan kelapa sawit, anak rentan juga dipekerjakan, ikut orangtuanya untuk memenuhi target kerja orangtuanya sebagai buruh.” Demikian disampaikan Anggota Komisi IX DPR RI Ali Mahir, saat dihubungi Senin, (29/6).
Kementerian Tenaga Kerja sendiri sedang memulai kampanye menentang pekerja anak secara nasional. Mereka yang disasar adalah anak-anak yang bekerja dan putus sekolah dari kalangan keluarga miskin berusia 7-15 tahun. Tujuannya, agar anak terbebas dari pekerjaan terburuk dan berbahaya. Dengan mengembalikan anak ke sekolah diharapkan akan meningkatkan kualitas kehidupan keluarga.
Mahir menjelaskan, Indonesia sendiri sudah memiliki UU sekaligus meratifikasi konvensi ILO tentang larangan bekerja bagi anak dan penghapusan praktik penghisapan terhadap anak. “Langkah-langkah yang dilakukan oleh Kemenaker sudah merupakan kewajiban kita semua untuk mendukung dan mengapresiasinya,” kata Mahir.
Kampanye ini mesti disosialisasikan secara luas ke setiap daerah. Anak-anak adalah penerus kelangsungan bangsa ini. Kemenaker, sambung politisi Partai Nasdem itu, harus didorong agar melakukan kampanye secara berkelanjutan. Bila ada perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan anak harus diberi sanksi. Ini sudah masuk ranah pidana.
Problem masalah anak, kata Mahir, seperti tak ada habisnya. Anak-anak yang dipaksa bekerja untuk menopang ekonomi keluarga justru menghilangkan kesempatan emas anak untuk berkembang. Dan pekerja anak biasanya dari keluarga miskin. Apalagi keluarga petani, selalu mengharuskan anak-anaknya bekerja di sektor pertanian.
“Bila hanya anak-anak di perkotaan saja yang diperhatikan, sementara anak-anak di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan yang jauh dari pusat informasi kurang diperhatikan, maka ke depan akan menciptakan gap yang lebar dan mengancam ketahanan negara,” ungkapnya. (mh) Foto: Naefuroji/parle/od