KPA Dan PB Aman Beri Masukan RUU Pertanahan

31-08-2015 / KOMISI II

Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi II DPR Mustafa Kamal, menerima masukan dari berbagai pihak yang mendalami agraria terhadap draft RUU dan naskah akdemis RUU Pertanahan yang saat ini sedang disusun oleh Komisi II DPR.

Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) dan Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB Aman) dalam RDPU dengan Komisi II DPR berkesempatan memberi masukan terkait pembentukan RUU Pertanahan, di Jakarta, Senin (31/8).

Sekjen KPA Iwan Nurdin dalam laporannya menjelaskan, KPA berkesempatan memberikan masukan salah satunya tentang Hak atas Tanah, “Terkait dengan Hak Guna Usaha (HGU) menurut kami dan mengacu kepada penjelasan UUPA 1960, sesungguhnya diprioritaskan kepada koperasi milik petani atau rakyat, untuk menghasilkan masyarakat pertanian modern, perlindungan terhadap lahan pertanian cenderung terpecah akibat hukum waris dan lain-lain”kata Iwan.

Ia menambahkan, pembatasan minimum maksimum kepemilikan HGU swasta ukurannya tidak berdasarkan kepadatan penduduk provinsi dan ketimpangan agrarian yang terjadi.

“Oleh karena ini, dalam RUU ini tidak disebutkan jangka waktu HGU, untuk mencegah monopoli dan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber-sumber agrarian,”terangnya.

Tujuan dari Reforma Agraria juga tidak dijelaskan di RUU ini, ujar Iwan, serta keterlibatan dan pelibatan masyarakat tidak diatur, “Dibutuhkan sinkronisasi UU Pertanahan dengan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU Perlindungan Lahan Pangan Berkelanjutan dan UU Desa,”urainya.

Mengenai penyelesaian sengketa, KPA menurut Iwan memberikan pandangan dalam menyelesaikan konflik atau sengketa agrarian sangat legal formal, “Apakah peradilan khusus yang di usulkan ‘Peradilan Pertanahan’ yang kelembagaannya mirip seperti PHI untuk perburuhan yang tidak begitu efektif,”terang Iwan.

Dalam RUU ini, kata Iwan, juga belum menyentuh konflik agraria, sebab agraria adalah pertentangan klaim hak atas tanah akibat kebijakan yang melibatkan masyarakat luas dan meliputi banyak dimensi sosial politik.

Sebaiknya, tambah Iwan, dibentuk Komisi Penyelesaian Konflik Agraria untuk menangani kasus-kasus yang lintas sektoral, multidimensi dan korban yang luas akibat kebijakan dan perampasan tanah masa lalu sebagai jembatan sebelum dibentuknya Pengadilan Pertanahan.

Sementara itu, menurut Dir. Advokasi Hukum dan HAM PB Aman Eramus Cahyadi memberikan beberapa usulan dalam penyusunan RUU Pertanahan, diantaranya berkaitan dengan wilayah adat, RUU Pertanahan mestinya disusun dengan menggunakan pendekatan HAM, yang meberi ruang pada proses-proses pemulihan hak masyarakat adat atas wilayah adat.

“Dalam UUPA tidak mencantumkan bahwa wilayah adat atau hak ulayat itu sebagai salah satu jenis hak seperti hak milik, HGU, Hak Pakai dan lain-lain,”terangnya.

Dalam RUU Pertanahan, ujar Eramus, semestinya mengklarifikasi ‘wilayah adat’ sebagai ‘hak milik’ suatu masyarakat adat, “Jika tidak demikian, pertanyaannya adalah hak dalamm katagori apakah wilayah adat itu ?,”tanya Eramus.

Ia menambahkan, jika mengacu pada putusan MK 35/PUU-X/2012, maka lebih masuk akal jika ‘wilayah adat’ itu dikatagorikan sebagai ‘hak milik’ suatu masyarakat adat.

“JIka wilayah adat tidak diatur sebagai ‘hak milik’ masyarakat adat, maka wilayah-wilayah adat kembali rentan diambil alih tanpa konsultasi dan persetujuan masyarakat adat,”tegasnya.

Selain itu, usulan PB Aman mengenai Bab tentang Pendaftaran Tanah diusulkan untuk diubah menjadi Bab tentang “Pendaftaran Tanah dan Wilayah Adat”.

“Dengan penjelasan sebelumnya, adalah lebih masuk akal untuk memasukkan wilayah adat ke dalam katagori ‘Hak Milik’ suatu masyarakat adat, maka pendaftaran tanah ini semestinya dilakukan dengan kesadaran bahwa pendaftaran tanah tidak saja ditujukan kepad hak milik pribadi tetapi juga hak milik suatu masyarakat adat yang sifatnya kolektif,”papar Eramus.

Mengapa hal ini penting, jelas Eramus, karena salah satu sumber konflik diatas wilayah adat adalah karena wilayah adat itu tidak terdaftar didalam buku tanah. “Disinilah diperlukan suatu kreasi baru untuk mendesaign buku tanah yang tidak hanya diperuntukan bagi hak milik pribadi tetapi juga hak milik bersama suatu masyarakat adat atas wilayah adatnya,”terangnya.

Ia menambahkan, jika hal ini dilakukan, maka RUU ini menjawab permasalah selama ini, dimana wilayah adat yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat adat tidak diakui secara hukum atau lebih tepatnya, selama ini tidak ada aturan yang memadai dan memungkinkan wilayah adat milik masyarakat adat terdaftar di dalam administrasi pertanahan.(nt)  foto:ry/parle/ray

BERITA TERKAIT
Tunggu Arahan Presiden, Pemindahan ASN ke IKN Tidak Perlu Grasah-Grusuh
12-01-2025 / KOMISI II
PARLEMENTARIA, Jakarta - Anggota Komisi II DPR RI Ali Ahmad menegaskan pemindahan Aparatur Sipil Negara harus tunggu arahan Presiden Prabowo...
Bahtra Banong Ingatkan Hakim MK Jaga Netralitas dalam Sengketa Pilkada Serentak
09-01-2025 / KOMISI II
PARLEMENTARIA, Jakarta – Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Bahtra Banong, mengingatkan seluruh hakim Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menjaga netralitas...
Komisi II Siap Berkolaborasi dengan Kemendagri Susun Draf dan NA RUU Pemilu
06-01-2025 / KOMISI II
PARLEMENTARIA, Jakarta - Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda menegaskan pihaknya siap berkolaborasi dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam...
Perlu Norma Baru untuk Antisipasi Terlalu Banyak Pasangan Capres-Cawapres
04-01-2025 / KOMISI II
PARLEMENTARIA, Jakarta - Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menyebut DPR dan pemerintah akan mengakomodasi indikator pembentukan norma baru...