Tiga Bank BUMN Berutang ke Cina
Tiga Bank BUMN, BNI, Mandiri, dan BRI mengajukan utang ke China Development Bank (CDB) dengan total pinjaman US$ 3 miliar. Masing-masing bank plat merah itu mendapat US$ 1 miliar. Kesepakatan pengajuan utang tersebut diinisiasi oleh Kementerian BUMN tanpa sepengetahuan DPR RI.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Heri Gunawan, Rabu (23/9), mengungkapkan, jangka waktu pinjaman itu selama sepuluh tahun dengan komposisi 30 persen dalam mata uang renminbi dan 70 persen dalam dolar Amerika. “Sungguh sangat disayangkan, keputusan itu seperti mencederai semangat pembahasan RUU BUMN yang sedang berlangsung, dimana salah satu poin pentingnya adalah penguatan kontrol DPR terhadap setiap aksi korporasi yang strategik dan berisiko besar seperti utang.”
Komisi VI sendiri, kata Heri, belum mendapat penjelasan resmi dari tiga perbankan dan Menteri BUMN seputar apa saja yang tertuang dalam komitmen perjanjian utang tersebut. Kekhawatiran terhadap risiko utang selalu muncul. Indonesia tentu tidak ingin bila nanti tiba-tiba ketiga perbankan itu menjadi jaminan utang atau tergadai.
“Tanpa kontrol DPR, semua hal bisa saja terjadi. Pemberi utang tentu tidak mau rugi. Tiba-tiba saja, misalnya, sudah terjadi share swap (tukar guling) atau tiba-tiba saja saham ketiga BUMN itu sudah dikuasai asing. Siapa yang tahu,” imbuh politisi Partai Gerindra tersebut. Mestinya, Kementerian BUMN berkonsultasi dahulu dengan DPR sebelum mengajukan pinjaman, karena risikonya juga sangat besar bagi keuangan negara.
Saat ini, lanjut Heri, utang swasta dan BUMN sedang meroket dengan angka yang fantastis. Totalnya di atas 80 persen dari utang luar negeri. “Cara-cara Menteri BUMN yang main putus sepihak ini akan memunculkan banyak spekulasi. Lebih-lebih alasan pinjaman itu ditujukan untuk membiayai proyek infrastruktur yang pembahasannya belum clear dan masih memiliki peluang gagal,” ungkap Heri.
Risiko dari utang jangka panjang itu, jelas Heri, bisa menjalar ke mana-mana. Pertama, akan menggerus pendapatan ketiga BUMN itu, karena harus membayar cicilan pinjaman dalam jangka panjang. otomatis profit dan dividen juga ikut menurun. Itu artinya penerimaan negara dalam jangka panjang ikut berkurang. Kedua, proyek infrastruktur yang belum jelas hingga kini, menyimpan kegagalan. Bila sudah gagal, bagaimana utang itu harus dibayar. Tiga bank BUMN itu akhirnya bisa dijadikan jaminan.
Ketiga, sambung Heri, tingkat pengembalian utang itu sangat bergantung pada proyek infrastruktur. Idealnya, dipastikan dulu proyek infrastruktur itu punya nilai ekonomis yang berimbang. Bila tidak, maka itu hanya jadi beban negara. Politisi dari dapil Jabar IV ini mensinyalir ada dugaan kuat barter proyek dalam kesepakatan tersebut. Selama ini, realisasi proyek yang ditangani Cina banyak bermasalah, seperti proyek listrik 10 MW tahap I dan 2.
Bila kelak proyek infrastruktur itu betul-betul gagal, maka risiko pengembalian utang dari ketiga bank BUMN itu jelas membebani perekonomian negara. “Kalau pada akhirnya gagal, ibarat kata, sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah ngutang, proyek gagal, BUMN pun tergadai,” keluh Heri mengakhiri komentarnya. (mh)/foto:iwan armanias/parle/iw.