PEMERINTAH DIMINTA KONSISTEN DALAM PERENCANAAN ANGGARAN
Komisi V DPR RI meminta Pemerintah konsisten dan berjuang keras dalam perencanaan anggaran khususnya anggaran Direktorat Jenderal Bina Marga. Konsistensi Pemerintah ini diperlukan mengingat jalan adalah infrastruktur yang menjadi lokomotif dalam rangka menumbuhkan perekonomian nasional
Demikian disampaikan Wakil Ketua Komisi V Muhidin M. Said (F-PG) disela-sela Rapat Dengar Pendapat dengan Dirjen Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, PT Jasa Marga dan Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Rabu (17/2) di gedung DPR.
Dalam rapat yang dipimpinnya, Muhidin mengatakan, dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun ini, Bina Marga mendapatkan dana kurang lebih Rp 27 triliun. Namun ternyata dalam APBN hanya mendapatkan Rp 16,5 triliun.
Jadi, kata Muhidin, untuk mencapai RPJPN pun terlalu jauh, sedangkan untuk pembangunan berdasarkan grand strateginya Kementerian PU juga tidak sampai Rp 21 triliun.
“Jadi memang kalau ada permasalahan, ganjalan itu tidak usah dipertanyakan karena memang dananya tidak cukup dan pemerintah tidak bisa memenuhi berdasarkan RPJPN itu sendiri,” kata Muhidin.
Seharusnya, tambahnya, Pemerintah memahami bahwa kita sudah punya RPJPN, punya grand strategi yang harus dipenuhi kalau ingin betul-betul menjadikan sebagai lokomotif bagi kemajuan perekonomian kita. Karena kemajuan perekonomian berarti akan mengurangi kesenjangan sosial dan akan menumbuhkan angkatan kerja baru.
Namun sangat disayangkan anggaran tahun 2010 bahkan mengalami penurunan dari tahun 2009, padahal program yang harus dijalankan Bina Marga ada penambahan jalan kurang lebih 4.000 km. “Jadi ini problem yang harus diselesaikan,” katanya memprihatinkan hal itu.
Muhidin menambahkan, setiap tahunnya Bina Marga harus merekonstruksi 5.000 km jalan. Sementara dana yang ada hanya untuk maksimal 3.000 km yang bisa dilakukan. Jadi dalam hal ini, terlalu besar backlognya.
Sebagai perbandingan, Indonesia setiap tahun hanya mampu membangun maksimal 25 km jalan tol, sementara di negara China dalam sehari dapat membangun 20 km. “Bisa dibayangkan betapa lambannya pembangunan jalan tol yang ada di negara kita,” ujarnya.
Ada dua hal yang menjadi kendala terhambatnya pembangunan jalan kita, yaitu persoalan tanah dan masalah dana. Menurut Muhidin, selama ini banyak proyek jalan tol yang akan dijalankan namun semua itu terkendala dengan persoalan pembebasan tanah dimana ada warga yang tidak mau dibebaskan tanahnya karena belum ada kesesuaian harga.
Dalam hal ini, Komisi V DPR telah mengundang Badan Pertanahan Nasional untuk membantu menyelesaikan pembebasan tanah yang akan dipakai untuk kepentingan umum.
Dirjen Bina Marga yang juga Wakil Menteri PU Hermanto Dardak mengatakan, tahun 2010 Bina Marga mendapat alokasi lebih kecil dari kebutuhan sehingga terjadi backlog pendanaan. Karena kecilnya dana yang tersedia, maka penambahan jalan nasional baru sepanjang 4.000 km belum teralokasi.
Dana ini, kata Hermanto, juga sangat kecil dalam rangka mendukung pembangunan jalan tol, baik untuk pembebasan tanahnya maupun sebagian konstruksi.
Selain itu, banyaknya bencana alam yang terjadi pada tahun 2009 baik berupa banjir, gempa bumi dan tanah longsor menambah dana yang diperlukan untuk memperbaiki infrastruktur di daerah tersebut semakin besar.
Dia menambahkan, jalan yang menjadi kewenangan penyelenggara negara yaitu jalan nasional non tol sepanjang 38.669 km, jalan nasional tol 742 km, jalan Provinsi 48.680 km dan jalan Kabupaten/Kota 288.185 km.
Beban Bina Marga semakin berat, karena berdasarkan data BPS Pusat kurang lebih 90 persen angkutan barang menggunakan transportasi darat (jalan).
Sementara Kepala BPJT Nurdin Manurung mengakui, kemampuan untuk membangun jalan tol memang sangat terbatas. Bila dibandingkan dengan negara tetangga kita, Malaysia dapat membangun jalan tol sepanjang 1.600 km, sedangkan Indonesia baru mampu membangun 742 km.
Nurdin membenarkan kendala yang dihadapi memang masalah pembebasan tanah dan anggaran. Bahkan ada laporan yang menyebutkan dari tahun 2006 masalah pembebasan tanah tersebut sampai sekarang belum juga terselesaikan. Sekitar tahun 2007 progresnya baru mencapai 30 persen.
Terhadap masalah pengadaan lahan, Direktur Jasa Marga Frans Suinta mengatakan, adanya wacana ganti rugi tanah sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) belum didukung oleh peraturan yang ada, sehingga apabila digunakan cara ruilslag membutuhkan waktu yang cukup lama.
Menurutnya, realisasi Land Freeze belum terlaksana dengan efektif. Perpindahan kepemilikan tanah juga menyebabkan semakin tingginya harga ganti rugi yang diajukan masyarakat.
Untuk itu Frans mengusulkan, diterbitkannya surat ijin dari instansi yang lahannya terkena rute jalan tol untuk dapat dilaksanakan konstruksi, sementara proses ruilslag atau ganti rugi lahan (PNBP) tetap berjalan. Selain juga dilaksakan Law Enforcement bagi yang melanggar ketentuan Land Freezing.
Frans juga mengharapkan segera diterbitkannya Undang-undang mengenai Pembebasan Lahan bagi kepentingan umum, sehingga akan mempermudah Jasa Marga dalam membangun infrastruktur di Indonesia. (tt)foto:iw/parle/RY