Irtama Selenggarakan FGD Penilaian SPIP
Inspektorat Utama (Irtama) DPR RI selenggarakan Focus Group Discussion (FGD) tentang Penilaian Maturitas Penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) Di Ruang Rapat Deputi Bidang Administrasi Gedung Setjen DPR RI, Selasa (20/12/2016). Ini sesuai dengan amanat undang-undang yang dilanjutkan dengan Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008 tentang SPIP.
Kegiatan yang dipandu langsung oleh Deputi Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang selanjutnya diteruskan oleh Direktur BPKP ini melakukan klarifikasi data dan informasi tentang SPIP.
"Sebelumnya telah melakukan survei terhadap Eselon III dan Eselon II. Dan survei ini merupakan klarifikasi tentang apa-apa yang telah disampaikan sebelumnya," jelas Setyanta Nugraha, Inspektur Utama Setjen DPR RI.
Dia juga menjelaskan, dari suvei ini akan dilakukan pembobotan atau leveling. Ada level satu sampai lima, jadi semakin besar levelnya semakin baik kematangan SPIP. Penilaian ini untuk mengetahui kapabilitas aparat pengawas intern pemerintah. Setyanta memaparkan, penilaian dilakukan melalui internal audit kapabiliti model. "Dan kita sudah mendapatkan level dua dalam perbaikan," ujarnya.
Toto, begitu dia akrab disapa menjabarkan, SPIP adalah, pola organisasi dalam melakukan pengendalian internal terhadap aspek-aspek keuangan, SDM, aset, regulasi, dan sistem. "Ini adalah pemetaan sebarapa jauh atau seberapa lengkap kita sudah memiliki instrumen. Apakah itu dalam bentuk regulasi, SOP, pedoman, atau aplikasi," jelasnya.
Dia melanjutkan, kalau sudah punya instrumen tersebut, lalu langkah selanjutnya adalah menginformasikan kepada seluruh pemangku kepentingan yang ada di lingkungan organisasi. Setelah tersosialisasi secara merata, maka akan dilihat bagaimana implementasinya.
"Ketika sudah dikomunikasikan, bagaimana implementasinya. Ini diukur dan dipetakan. Tolak ukurnya dari hasil pemeriksaan BPK. Kita sendiri mendapat penilaian opini wajar tanpa pengecualian (WTP). Artinya sudah opini tertinggi," jelas Toto.
Diakuinya, salah satu kendala dalam penilaian SPIP adalah Tenaga Ahli (TA) yang ada di DPR. Menurut Toto, antara TA dengan dengan ASN lainnya memiliki karakter yang berbeda. "Karena dalam struktur Sekretariat Jenderal dan BKD ini adalah berasal dari ASN, Pegawai Negeri Sipil. Tapi dari ASN ini dimungkinkan ada pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja," ujarnya.
Dalam diskusi diusulkan, TA tidak dimasukkan dalam komponen penilaian, karena menjadi bias. "Organisasi kita ini kan birokrasi, PNS. Sementara Tenaga Ahli itu lebih kepada partisan. Menyulitkan jika Tenaga Ahli dimasukkan dalam komponen penilaian," jelas Toto.
Untuk mengatasi hal tersebut, dia menyarankan Sekretariat Jenderal DPR agar mendorong TA, dengan inisitif sendiri membuat kode etik Tenaga Ahli. "Sama sepeti tenaga fungsional, auditor. Auditor itu wajib punya kode etik, yang berbeda dengan PNS," kata Toto. (eko) foto:andri/mr.