PEMERINTAH BERHARAP RUU KEISTIMEWAAN DIY SEGERA DIBAHAS
18-02-2009 /
BADAN MUSYAWARAH
Menteri Dalam Negeri Mardiyanto berharap Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dapat segera dibahas. Keberadaan RUU ini sangat diharapkan banyak pihak khususnya masyarakat DIY dalam mengawal perubahan sosial menuju masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi.
Demikian disampaikan Mardiyanto yang mewakili Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan HAM dalam menyampaikan tanggapan Pemerintah atas Pandangan Fraksi-fraksi DPR RI dan DPD RI terhadap RUU Keistimewaan DIY, Rabu (18/2) yang dipimpin Ketua Komisi II E.E. Mangindaan (F-PD).
Mardiyanto mengatakan, berdasarkan Pandangan Umum yang disampaikan Fraksi-fraksi DPR RI dan DPD RI, Pemerintah mendapat gambaran adanya semangat dan komitmen yang sama untuk menyelesaikan RUU Keistimewaan DIY bersama-sama dengan Pemerintah sesegera mungkin.
Sampai hari ini, Pemerintah menangkap kesan bahwa di masyarakat DIY sedang terjadi perubahan cara pandang dalam menyikapi keistimewaan DIY, khususnya yang terkait dengan pengisian Gubernur dan Wakil Gubernur.
Ada masyarakat yang menginginkan Gubernur otomatis dijabat Sri Sultan Hamengku Buwono dan Wakil Gubernur diisi Sri Paku Alam, namun terdapat kelompok masyarakat lain yang menginginkan Gubernur dan Wakil Gubernur diisi melalui mekanisme pemilihan.
Dalam hal ini, Pemerintah melihat belum ada pengaturan tentang keistimewaan DIY yang bersifat komprehensif. Akibatnya hingga saat ini keistimewaan DIY lebih didominasi oleh isu penetapan atau pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur.
Ada empat hal penting yang menjadi catatan Pemerintah berkenaan dengan RUU tentang Keistimewaan DIY yaitu, tentang pengaturan pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, konsep Parardhya dan kewenangannya, masalah pertanahan dan penataan ruang dan pembiayaan keistimewaan.
Terhadap pengaturan pengisian jabatan Guberbur dan Wakil Gubernur DIY, Pemerintah memilih alternatif pengisian jabatan Gubernur DIY sudah sangat membutuhkan instrument hukum baru yang jelas karena pengisian jabatan Guberbur/Wakil Gubernur Tahun 1998 dan 2003 menunjukkan proses politik lebih ditentukan hasil negosiasi politik yang keras ketimbang regulasi yang jelas.
Selain itu, pernyataan ketidaksediaan Sri Sultan menjadi Gubernur selepas masa jabatan 2008 merupakan kelanjutan penegasan Sri Sultan tidak bersedia menjadi Gubernur seumur hidup.
Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan Keistimewaan DIY ke depan Pemerintah memiliki pandangan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam nantinya tidak ditempatkan sebagai kepala pemerintahan, akan tetapi ditempatkan dalam wadah baru yang tidak kalah terhormat sebagai “pemangku keistimewaan yang disebut Parardhyaâ€.
Sedangkan untuk pengisian Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan melalui pemilihan, dengan harapan pemerintahan tidak semata-mata tergantung pada suksesi di Kraton dan Paku Alaman.
Pemerintah, kata Mardiyanto, mengajak kepada semua fraksi-fraksi, agar pengaturan itu nantinya tidak semata-mata dimaksudkan untuk menengok ke masa lalu saja, tetapi harus memiliki kapasitas untuk menjawab perubahan sosial, memfasilitasi transformasi masyarakat dan didedikasikan untuk menyambut masa depan.
Sementara mengenai konsep Parardhya dan kewenangannya yang dianggap belum sempurna, dalam hal ini Mardiyanto mengatakan penggunaan sebutan Parardhya, memang masih membutuhkan kajian lebih lanjut. Seperti disampaikan GBPH Joyokusumo, istilah ini tidak dikenal dalam struktur organisasi keraton.
“Bila penggunaan terminologi Parardhya ini dipersoalkan maka menjadi kewajiban kita semua untuk membahas lebih lanjut nantinya,†kata Mardiyanto.
Sedang masalah pertanahan dan penataan ruang, Pemerintah mencermati bahwa tanah-tanah Kasultanan dan Paku Alaman hingga saat ini belum ada penyelesaian secara memadai, walaupun UU Nomor 5 Tahun 1960 telah diberlakukan selama hampir 30 tahun. Untuk itulah di dalam RUU Keistimewaan ini memuat pengaturan akan hal tersebut.
Untuk pembiayaan keistimewaan, Pemerintah tetap berpandangan pengaturan tersebut harus diletakkan secara komprehensif dalam hubungan keuangan Pusat dan Daerah dengan tetap menjaga keutuhan, keseimbangan (equilibrium) antar daerah.
Pemerintah dalam merumuskan dana keistimewaan memilih kebijakan yang lebih netral sebagaimana diberlakukan juga bagi kekhususan DKI Jakarta. Untuk itu, kata Mardiyanto, perlu dilakukan pembahasan lebih mendalam.
Lebih jauh Pemerintah berharap agar dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya dapat dilaksanakan dengan semangat untuk menyelesaikan masalah keistimewaan DIY dan memelihara marwah keistimewaan itu dalam perspektif merespon terjadinya perubahan sosial yang berkelanjutan.
Pada kesempatan tersebut Ketua Komisi II DPR juga sekaligus menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Fraksi-fraksi DPR RI kepada Pemerintah. (tt)