Kemendag Didesak Selesaikan Turunan UU Perdagangan
Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka menilai persoalan utama carut marutnya masalah perdagangan disebabkan karena tidak adanya aturan turunan dari UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
“Undang-Undang Perdagangan sudah cukup jelas dan tegas mengatur tentang perdagangan dalam negeri. Mulai dari kualitas pengelolaan pasar rakyat, penguatan koperasi dan UKM serta pengendalian ketersediaan barang kebutuhan pokok, yang meliputi ekspor, impor hingga penyimpanan,” katanya dalam rilis yang disampaikan kepada Parlementaria, Senin malam (05/6/2017).
Namun, lanjutnya, hal tersebut tidak bisa diimplementasikan tanpa aturan turunan. Akibatnya, pencegahan, hingga sanksi hukum bagi pelanggar yang membahayakan pangan nasional pun tidak dapat ditegakkan. Indonesia negara hukum, sehingga tidak mungkin kebijakan dijalankan tanpa aturan hukum.
“Dari 9 peraturan pemerintah, satu pun belum ada yang dibuat. Sementara, dari 9 Perpres baru 1 perpres yang ada, yaitu tentang Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokoknya dan Barang Penting dan dari 20 Permendag, 13 diantaranya sudah ada,” kritisi Rieke.
Dalam Rapat Kerja Komisi VI dengan Kementerian Perdagangan (5/6/2017), politisi dari F-PDI Perjuangan ini mendesak Menteri Perdagangan segera menyelesaikan aturan turunan UU Perdagangan dan merevisi aturan turunan yang sudah ada, namun justru membahayakan kedaulatan pangan nasional.
Diantaranya, Pasal 11 PP 71/2017 ayat 1 dan ayat 2 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang yang menyebutkan barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting dilarang disimpan di Gudang dalam jumlah dan waktu tertentu.
Jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yaitu jumlah di luar batas kewajaran yang melebihi stok atau persediaan barang berjalan, untuk memenuhi pasar dengan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, berdasarkan catatan rata-rata penjualan per bulan dalam kondisi normal. Menurutntya, pasal ini membuka peluang pelaku besar melakukan penimbunan barang dan melakukan permainan harga.
Selain itu, Permendag No 125/2015 tentang Ketentuan Impor Garam dinilai berpotensi melemahkan usaha garam rakyat karena menghapus aturan sebelumnya yang mewajibkan importir menyerap garam rakyat minimal 50 persen. Bahkan, mencabut wewenang Kementerian Perindustrian untuk mengeluarkan rekomendasi izin impor garam industri yang mengakibatkan garam impor untuk industri dijadikan garam konsumsi.
Rieke juga menyoroti Permendag No 70/2015 tentang Angka Pengenal Impor (API). Melalui turunan ini, pembatasan perusahaan pemilik Angka Pengenal Impor (API-U) dihapus. Artinya, Permendag ini mengijinkan importir API-U mengimpor semua jenis barang untuk tujuan diperdagangkan. Aturan ini jelas berbahaya karena berpotensi besar produsen berubah menjadi trader. Arus deras impor yang tidak terkendali mengancam produsen nasional.
“Saya yakin saudara Menteri Perdagangan sangat memahami pentingnya aturan turunan UU Perdagangan ini. Untuk menjaga stabilitas, ketersediaan, distribusi pangan, penyelamatan produksi nasional, pengendalian harga yang memprioritaskan data beli rakyat, yang berorientasi pada kedaulatan pangan Indonesia,” tandas politisi dari dapil Jawa Barat VII ini. (ann/sc), foto : iwan/hr.