Ekonomi Melambat, Defisit Terus Mengancam
Daya beli masyarakat menurut data terakhir BPS menurun. Ini dibuktikan dengan tingkat konsumsi rumah tangga tahun 2017 turun menjadi 4,93 persen dari sebelumnya 5,01 persen. Ini juga membuktikan ekonomi nasional melambat. Ditambah angka ketimpangan masih bertengger di kisaran 0,39 persen.
Demikian diungkap Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan saat dihubungi Kamis (4/1/2018). Komentar Heri ini merespon pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan perekonomian nasional masih cukup stabil dengan defisit per 15 Desember lalu mencapai Rp 351,7 triliun (2,62 persen) terhadap produk domestik bruto (PDB). Sementara batas maksimum yang ditetapkan UU APBN-P sebesar 2,92 persen. Jadi, menurut Menkeu APBN masih cukup stabil.
“Ketimpangan masih di tahap waspada. Lalu, apa yang mesti dibanggakan dari realisasi defisit yang menurut Menkeu jauh di bawah batas maksimal. Jawabannya, jelas tidak ada. Sekali lagi saya sampaikan, tidak ada manfaatnya angka defisit yang berhasil ditahan jauh di bawah angka maksimal 2,92 persen itu. Kita jangan mudah terkecoh oleh angka-angka yang dengan mudah bisa diutak-atik,” tandas Anggota F-Gerindra DPR itu.
Heri lalu membandingkan dengan realisasi defisit pada APBN-P 2016 yang sebesar 2,45 persen. Maka angka realisasi defisit APBN-P 2017 sebesar 2,62 persen itu belum pantas dibanggakan. Pada bagian lain, ia juga mengomentari capaian pertumbuhan dan penerimaan pajak yang tidak sesuai harapan. Penerimaan pajak mengalami penurunan sebesar minus 2,79 persen dibandingkan dengan tahun yang serupa. Pemerintah akan kesulitan memenuhi target penerimaan pajak.
“Celakanya, pajak masih menjadi sumber penerimaan terbesar pemerintah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Tidak tanggung-tanggung, ketergantungan APBN pada pajak menyentuh angka 80 persen. Sehingga, begitu target pajak tidak tercapai, maka APBN terancam. Belum lagi beban utang plus bunga yang jatuh tempo,” kilah politisi dari dapil Jabar IV ini.
“Untuk diketahui, tax ratio Indonesia adalah yang terendah di dunia, yakni hanya 11 persen. Hal tersebut akan berimplikasi pada pembayaran beban utang yang jatuh tempo. Akhirnya, semua hal menjadi serba tak wajar. Pemasukan pajak rendah dan utang yang kian menumpuk,” tutup mantan Wakil Ketua Komisi VI ini. (mh,mp)