Revisi UU MD3 Atur Pemanggilan Paksa dengan Bantuan Polri

09-02-2018 / BADAN LEGISLASI

Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas foto : Azka/mr.

 

 

Badan Legislasi DPR RI dengan Pemerintah dalam revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), menyepakati klausul kewajiban Polisi Republik Indonesia membantu DPR dalam memanggil paksa siapa saja yang tidak mau datang saat dipanggil DPR dalam fungsi pengawasan yang tertuang dalam Pasal 73 UU MD3.

 

Dalam Pasal 73 ayat 4 diatur bahwa DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian jika seorang yang dipanggil DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, mangkir dalam tiga kali panggilan berturut-turut. 

 

“Supaya nanti Kapolri itu ada dasar hukum untuk melakukan pemanggilan paksa. Apa dari UU yang kita minta, supaya Kapolri itu menyusun sebuah peraturan kepolisian dalam rangka pemanggilan paksa itu,” jelas Ketua Badan Legislasi DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja Revisi UU MD3 Supratman Andi Agtas, usai Rapat Kerja Baleg dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (8/2/2018) dini hari.

 

Dalam revisi UU MD3, Pasal 73 mengalami penambahan dua ayat. Pada ayat 5 diatur bahwa Pimpinan DPR dapat mengajukan permintaan tertulis kepada Kapolri terkait alasan pemanggilan paksa dan Kapolri memerintahkan anak buahnya untuk memanggil paksa subjek yang dipanggil DPR. Sementara ayat 6 dan 7, kepolisian dapat melakukan penyanderaan selama 30 hari dalam menjalankan panggilan paksa.

 

Untuk mengimplementasikan itu, Supratman menyerahkan kepada kepolisian untuk membuat peraturan internal. Nantinya, Komisi III DPR dan Kapolri akan membahas lebih lanjut hal itu dalam rapat kerja.

 

“Insya Allah nanti DPR dengan mitra kerja Komisi III bersama Kapolri tentu akan membahas, apalagi ini kan sudah perintah undang-undang, bahwa mekanisme pemanggilan paksa itu, sudah diatur dan diserahkan sepenuhnya kepada peraturan kepolisian tentang mengatur lebih lanjut soal mekanisme,” paparnya.

 

Menurut Supratman, klausul tersebut ada karena disebabkan ketidakhadiran salah seorang gubernur saat dipanggil oleh Komisi III DPR. Selain itu, polemik terkait ketidakhadiran KPK dalam proses pemanggilan di Pansus Angket KPK juga turut menyumbang diperlukannya klausul tersebut.

 

“Itu kan berlaku mensiasati terhadap apa yang terjadi kemarin dalam Pansus Angket yang kedua, tapi ada satu pemanggilan yang dilakukan oleh Komisi III terhadap seorang pejabat Gubernur yang sampai hari ini itu tidak bisa hadir dan tidak mau hadir di DPR. Itu sebenarnya pemicunya,” ungkapnya. (eko/sf)

BERITA TERKAIT
Legislator Dorong RUU Pelindungan Pekerja Migran, Sebagai Tanggung Jawab Negara
31-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Irawan, berharap penyusunan RUU tentang Perubahan Ketiga atas UU No....
Baleg Susun RUU untuk PMI dengan Keahlian Tertentu
31-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Doli Kurnia, mengungkapkan bahwa revisi UU tentang Perubahan Ketiga...
DPR Bahas Revisi UU Demi Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
31-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Irawan, menegaskan bahwa penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga...
Peringatan Legislator Soal IUP untuk Ormas: Tambang Bukan Sekadar Soal Untung
30-01-2025 / BADAN LEGISLASI
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Edison Sitorus, menyoroti revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba)...