PMK No. 146 Tahun 2017 Harus Perhatikan Kepentingan Nasional
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau mendapat kritik. PMK ini dinilai kurang memperhatikan kepentingan nasional, terutama petani tembakau. PMK itu mengatur tarif cukai hasil tembakau dengan menggunakan jumlah dalam rupiah untuk setiap satuan batang atau gram hasil tembakau.
Kepentingannya PMK ini untuk mencapai target penerimaan cukai tahun 2018. Tak heran Hasil Pengolahan Tembakau Lain (HPTL), diantaranya tembakau hirup, tembakau kunyah, dan tembakau molasses, masuk didalamnya. Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan menyampaikan kritiknya ini saat ditemui sesaat sebelum Rapat Paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (05/3/2018).
"Yang harus diperhatikan pemerintah, optimalisasi penerimaan negara tidak mengenyampingkan aspek kepentingan nasional," katanya. Ia mencontohkan, akomodasi terhadap peredaran rokok elektrik (Vape) terpaksa dilakukan karena rokok ini masuk klasifikasi HPTL dengan potensi cukai 57 persen dari harga jual eceran.
Padahal, rokok elektrik itu sendiri masih menuai pro-kontra karena bisa merugikan petani tembakau. Kontroversi lainnya, lanjut Heri, kontrol terhadap regulator dan internal bea cukai juga penting. Internal Bea Cukainya sendiri "tertutup" dan sulit "disentuh." Heri mengungkap, tahun 2013 saja, ada lebih dari 4.000 kasus selundupan yang berakibat kerugian negara hampir Rp 200 miliar.
Itu data versi Bea Cukai, yang oleh sebagian kalangan, belum terungkap 100%. "Saya berharap PMK itu memberi dampak konstruktif. Tidak saja untuk penerimaan negara, tapi juga menyangkut perlindungan kepentingan nasional, terutama kepentingan petani tembakau di dalam negeri. (mh/sc)