DPR Pertanyakan Tak Berfungsinya Tsunami Buoy
Ketua Komisi V DPR RI Fary Djemi Francis/Foto:Naefuroji/od
Ketua Komisi V DPR RI Fary Djemi Francis mempertanyakan tidak berfungsinya alat deteksi tsunami (tsunami buoy) atas terjadinya gempa bermagnitudo 7,4 Skala Richter (SR) yang mengguncang Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, sehingga memicu gelombang tsunami hingga 5 meter.
Fary menambahkan, sebagai mitra kerja Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Komisi V DPR RI menemukan tidak berfugsinya alat deteksi tsunami tersebut bukan kali pertama. Bahkan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut alat deteksi tsunami Indonesia sudah tak beroperasi sejak 2012.
“Berdasarkan catatan kami, pernyataan serupa juga sudah pernah diungkapkan BNPB pada tahun 2016, setelah gempa 7,8 skala richter mengguncang Kepulauan Mentawai,” tandas Fary dalam keterangannnya kepada Parlementaria, Senin (01/10/2018).
Legislator Partai Gerindra ini mengemukakan, ketika BNPB masih berbicara hal yang sama, menjadi pertanyaan apa yang dilakukan pemerintah selama ini untuk mengantisipasi bencana tsunami. Pada 2016, berdasarkan data yang dimiliki BNPB, ada 22 buoy yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari Aceh hingga Papua.
“Dari jumlah itu, sembilan unit dimiliki oleh Indonesia, 10 unit milik Jerman, satu unit Malaysia, dan dua unit milik Amerika Serikat. Sayangnya semua alat itu tidak berfungsi. Situasi yang sangat ironis, mengingat Indonesia di posisi rawan tsunami,” tegasnya.
Berdasarkan kalkulasi BNPB, lanjut Fary, harga per unit buoy buatan Amerika Serikat sebesar Rp 7-8 miliar, sedangkan buoy buatan Indonesia hanya Rp 4 miliar. Dan biaya operasional untuk total 22 buoy yang tersebar di Indonesia ialah Rp 30 miliar setahun. “Lantas, siapa yang berwenang memastikan alat ini berfungsi?” tanya Fary.
Lebih lanjut Fary mengatakan, BNPB mengemukakan pengoperasian alat deteksi tsunami, berada di bawah BMKG. Dalam Dipa anggaran BMKG 2018, ada alokasi anggaran sebesar Rp 116 miliar untuk Program Kegiatan Pengelolaan Gempa Bumi Dan Tsunami BMKG, termasuk di dalamnya untuk memberikan informasi akurat tentang gempa bumi dan peringatan dini tsunami.
“Lantas, ketika faktanya tidak ada alat deteksi tsunami yang berfungsi, kemana larinya anggaran tersebut? Dengan total anggaran Rp 1,7 triliun per tahun untuk BMKG, harusnya buoy bisa beroperasi dan manajemen antisipasi tsunami bisa berjalan dengan baik. Sebab itu, kami mendesak ada transparansi dan penjelasan sejujurnya dari BMKG akan hal ini,” tekan Fary.
Sebelum terjadi gempa dan tsunami di Palu dan sekitarnya, legislator dapil NTT itu mengungkapkan, pihaknya sudah membahas masalah tersebut. Bahkan, Fraksi Partai Gerindra walk out dari ruang rapat Komisi V DPR RI, karena BMKG tidak bisa menjelaskan secara detail anggaran yang diberikan untuk apa saja.
“Saat pembahasan RAPBN 2018 antara Komisi V bersama Kepala BMKG minggu lalu, Fraksi Gerindra DPR walk out meninggalkan sidang. Selain karena Kepala BMKG tidak mampu menjelaskan pengalokasian anggaran khususnya pemeliharaan intrumen deteksi dini tsunami dan instrumen lainnya, juga berkaitan anggaran yang diberikan untuk BMKG terus mengalami penurunan," tandasnya. (mp/sf)