Komisi IX Tindaklanjuti Data TNP2K di Sumsel
Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi IX DPR RI ke Kantor Dinas tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumsel, Palembang Foto : Agung/mr
Tim Kunjungan Kerja Spesifik Komisi IX DPR RI melakukan tindak lanjut terhadap data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) yang menyebutkan bahwa Provinsi Sumatera Selatan merupakan provinsi dengan jumlah pekerja anak tertinggi ketiga di Pulau Sumatera, setelah Sumatera Utara dan Lampung, dengan jumlah sebanyak 2.800 pekerja anak.
Anggota Komisi IX DPR RI dapil Sumatera Selatan Irma Suryani Chaniago mengatakan, Sumsel ini bukan daerah industri, maka memang pekerja anak itu jarang, kalaupun ada di sektor informal, seperti perkebunan. Biasanya mereka bukan pekerja melainkan ikut membantu orang tuanya, salah satu contoh misalnya mengambil getah karet di perkebunan.
“Rata-rata mereka bukan pekerja, mereka hanya membantu orang tuanya. Apakah itu dikategorikan sebagai pekerja, nah itu yang perlu diklarifikasi oleh Dinas Tenaga Kerja daerah,” katanya dalam rapat dengan jajaran Pemprov Sumatera Selatan, saat Kunjungan Kerja Spesifik pengawasan mengenai perlindungan terhadap pekerja anak yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, serta upaya percepatan Program Indonesia Bebas Pekerja Anak pada Tahun 2022, di Kantor Dinas tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumsel, Palembang, Selasa (29/01/2019).
Namun, legislator Partai Nasional Demokrat (NasDem) ini menegaskan memang tidak menutup kemungkinan di beberapa tempat masih adanya pengamen, yang menurutnya itu merupakan hal yang memang sudah harus dikontrol oleh Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan Sumsel. Hal ini agar anak-anak jalanan yang seperti ini bisa diberikan treatment khusus untuk bisa kembali ke sekolah.
Pemerintah memiliki komitmen untuk menghapus buruh atau pekerja anak di Indonesia hingga tahun 2022 melalui perlindungan sosial untuk anak di bawah umur dan pelatihan buat masyarakat, serikat pekerja dan perusahaan. Dimana tantangan dalam mengurangi pertumbuhan buruh atau pekerja anak yakni minimnya akses pendidikan dan kemiskinan.
“Memang pendidikan untuk 9 tahun itu seharusnya 12 tahun diwajibkan semua anak untuk bisa sekolah. Dengan sekolah sudah gratis, seharusnya terkait seragam, sepatu, dan keperluan lain tidak harus dirasaukan, kalau Gubernur, Wali Kota, dan Bupati bisa menyelesaikan masalah-masalah yang tidak prinsip ini,” tegasnya.
Selain itu, pungkas legislator dapil Sumsel ini, peruntukan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS) itu benar-benar kepada ada anak-anak yang orang tuanya tidak mampu, dengan dilakukan validasi dan verifikasi dari Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan.
“Kita juga harus turun juga untuk jemput bola dan melihat bahwa kok masih ada ya anak-anak yang tidak sekolah. Nah anak-anak yang tidak sekolah itu yang harus dicari orang tuanya siapa, itulah yang harus diberi Kartu Indonesia Pintar,” tandasnya. (as/sf)