AZAS CABOTAGE UU PELAYARAN SUDAH FINAL
Mayoritas anggota Komisi V DPR RI menegaskan asas cabotage dalam Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional, dan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran tidak mengalami perubahan.
“Asas cabotage ini sudah final, tidak ada tambahan lagi,” kata Yosep A Noe Soi, dalam pertemuan dengan beberapa perguruan tinggi dan industri pelayaran nasional, Rabu (26/1) di gedung DPR.
Hal senada disampaikan pimpinan rapat, Muhidin M Said, dan beberapa anggota Komisi V lainnya. “Setelah 7 Mei nanti, tidak ada lagi kapal berbendera asing beroperasi di Indonesia,” kata Muhidin yang dikonfirmasi seusai pertemuan.
Agenda pertemuan sore itu membahas rencana pemerintah merevisi UU 17 tahun 2008. Ada beberapa pasal yang akan direvisi, khususnya yang menyinggung asas cabotage tersebut. Dalam UU 17 melarang kapal berbendera asing beroperasi di Indonesia mulai 7 Mei 2011.
Rancangan revisi UU 17 sudah diserahkan pemerintah ke DPR, dan masuk dalam Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2011. Saat ini, Komisi V DPR dalam tahap pembahasan serta meminta tanggapan dan masukan beberapa pihak mengenai revisi UU tersebut.
Rencana revisi ini mendapat penolakan dari Ikatan Alumni Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Fakultas Teknik ITS Surabaya, dan organisasi industri perkapalan nasional. “Kapal asing tidak boleh beroperasi di Indonesia, kecuali bermitra dengan kapal nasional,” kata Agus Mulia, Wakil Ketua Ikatan Alumni FT UI.
Pada kesempatan tersebut, Ikatan Alumni Fakultas Teknik menyampaikan tiga poin penolakan revisi UU Pelayaran, antara lain, Alumni mendukung usaha galangan dan industri kapal Indonesia, dan memberikan sanksi kepada kapal asing yang beroperasi di Indonesia.
Menurut mereka, bila kapal asing harus bermitra dengan kapal nasional, syaratnya, kepemilikan saham perusahaan patungan itu, mayoritas milik pengusaha nasional.
Agus Mulia menambahkan, implementasi azas cabotage merupakan pertaruhan harga diri dari kedaulatan RI guna menjadikan industri pelayaran sebagai tuan rumah di negeri sendiri, sesuai amanat Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 dan UU 17/2008.
“Semangat cabotage dan merah putih pasti bisa jika ada keberpihakan pada potensi dalam negeri,” katanya. Karena selama kurun waktu lima tahun sejak Inpres ini dikeluarkan, potensi dalam negeri telah mampu menjadikan angkutan laut nasional Indonesia hampir ‘berdaulat’ dengan mendominasi 90,2 persen dari angkutan muatan antar pulau dan pelabuhan dalam negeri Indonesia.
Selain itu, juga dapat meningkatkan ketersediaan angkutan laut nasional/kapal dari 6.041 unit pada Maret 2010 menjadi 9.705 unit pada November 2010. Pencapaian ini tentu telah menimbulkan efek domino bagi bangkitnya sektor ekonomi bangsa dari hulu hingga hilir,” tambahnya.
Penolakan yang sama datang dari Dewan Perkapalan Indonesia, Indonesian Nasional Shipowner Assosiotion (INSA), dan Industri Galangan Kapal Indonesia. "Kami menolak ini direvisi," kata Son Diamar, anggota Dewan Perkapalan Indonesia.
INSA mempertanyakan alasan pemerintah melakukan revisi sebelum UU ini diberlakukan “Kenapa mesti dilakukan revisi,” kata Ketua Umum INSA, Johnson W Sutjipto.
Johnson menjelaskan keberhasilan yang telah dicapai setelah enam tahun pelaksanaan azas cabotage adalah, penerimaan usaha meningkat, penerimaan negara bertambah, lapangan kerja lebih terbuka dan kedaulatan NKRI yang tetap terjaga.
Selama kurun waktu tersebut, katanya, pertumbuhan armada nasional hingga Oktober 2010 mencapai 9.884, yang sebelumnya di Maret 2005 berjumlah 6.041. Data dari Kementerian Perhubungan juga menyebutkan, angkutan laut dalam negeri pada September 2010 mencapai 229,9 juta ton atau 95 persen dan angkutan laut armada asing 11,8 juta ton atau 5 persen.
Sementara untuk angkutan laut internasional, armada nasional hanya mengangkut 49,3 juta ton atau 9 persen dibandingkan armada asing yang mencapai 501,7 juta ton atau 91,0 persen.
Sejak Desember 2009, angkutan laut migas hilir dalam negeri telah seluruhnya menerapkan program nasional azas cabotage. “Bagaimana dengan ekspor ke luar negeri yang didominasi armada asing,” tanyanya.
Johnson menegaskan, azas cabotage ini merupakan program nasional dan keberhasilannya merupakan kedaulatan negara. Jika Pemerintah ingin merevisi UU Nomor 17 Tahun 2008, ini berarti Pemerintah gagal melaksanakan azas cabotage, dan ini beresiko Indonesia akan dipermalukan oleh negara lain. (tt)