Produsen Pangan Olahan dan Obat Tradisional Perlu Pembinaan
Anggota Komisi IX DPR RI Imam Suroso (Kanan) Foto : Oji/mr
Anggota Komisi IX DPR RI Imam Suroso menegaskan perlunya pembinaan bagi para produsen obat-obatan tradisional dan pangan olahan oleh para pemangku kepentingan (stakeholder) yaitu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Hal tersebut dikemukakan Imam saat pertemuan Tim Kunspek Komisi IX DPR RI Bidang Kesehatan dalam rangka pengawasan label pangan olahan di Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (POM) di D.I Yogyakarta, Rabu (6/2/2019).
Menurut Imam, para produsen pangan olahan dan obat-obatan tradisional adalah usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan home industry memerlukan pembinaan dan pelatihan agar dalam pembuatan produknya tidak menggunakan bahan pengawet berbahaya, pemanis buatan, pewarna dan sebagainya yang tidak sesuai aturan.
"Dari laporan BPOM DIY yang saya terima, masih banyak kasus-kasus pelanggaran terkait aturan label pangan olahan ini. Disini saya minta Kepala Dinas Kesehatan bekerja sama secara intensif dengan Kepala BPOM untuk melakukan pembinaan secara masif dan berkesinambungan," imbuh Politisi PDI Perjuangan ini.
Sepanjang tahun 2017 dan awal tahun 2018, BPOM RI dan Kepolisian berhasil menemukan dan menyita berbagai macam produk makanan yang diganti label tanggal kadaluarsanya, dengan label baru. Kasus ini merupakan pelanggaran yang sering ditemukan BPOM RI di lapangan.
Berdasarkan hasil pengawasan rutin BPOM terhadap label produk pangan yang beredar, pada tahun 2015 ditemukan 21,24 persen dari 8.082 label yang diawasi, tidak memenuhi ketentuan (TMK). Tahun 2016, angka ini menurun menjadi 13,60 persen dari total 7.036 label yang diawasi. Kemudian pada tahun 2017, temuan kembali meningkat menjadi 13,68 persen dari 8.603 label label yang diperiksa.
"Hasil pantauan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Yogyakarta di sejumlah pasar, mal, supermarket, serta, toko pada 3 Desember 2018 hingga 11 Januari 2019 menggunakan mobil laboratorium keliling, dengan total 78 sampel yang disampling, menunjukkan sebanyak 15 sampel atau 19 persen mengandung bahan berbahaya yaitu 10 sampel (12 persen) mengandung Rhodamin B dan lima sampel (6,4 persen) mengandung Boraks. Ini perlu ditindaklanjuti dengan pembinaan agar kesadaran produsen membuat pangan olahan yang sehat terus meningkat," tandas Imam.
Dirinya juga berpesan agar proses pengawasan pangan olahan dan obat-obatan tradisional tidak sampai membinasakan tapi lebih fokus bagaimana memberikan pembinaan. "Silahkan diawasi, diberi teguran tapi jangan sampai dibinasakan. Apalagi sekarang banyak obat herbal impor dari China dan negara lain beredar di apotik-apotik yang tak kalah berbahaya jika tidak diawasi secara ketat," pungkas Politisi Dapil Jawa Tengah III ini.
Sementara itu, Direktur Registrasi Pangan Olahan Balai Besar POM DIY, Anisyah menjelaskan berdasarkan keterangan yang diperoleh, sebagian besar produk pangan olahan dan obat tradisional yang mengandung bahan berbahaya tersebut berasal dari luar DIY (Magelang, Muntilan, Purworejo, Solo).
"Terhadap temuan tersebut, tindak lanjutnya adalah pernyataan dari pedagang untuk tidak menjual kembali produk mengandung bahan berbahaya," tambahnya.
Ia menambahkan perlunya penambahan formasi SDM pembina, pengawas dan penyuluh pangan dari Dinas Kesehatan DIY. Perlu regulasi untuk pemberian logo atau labelisasi pada sarana produksi makanan siap saji. Juga logo pada toko makanan oleh-oleh, agar dapat diketahui bahwa makanan yang dijual telah memenuhi ketentuan label pangan olahan," tutupnya. (oji/es)