STIGMATISASI PEMERINTAH TERHADAP DIY DINILAI MENGUSIK EKSISTENSI DIY
Stigmatisasi pemerintah atas Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai monarki telah mengusik eksistensi keistimewaan DIY. Hal tersebut disampaikan Anggota Komisi II Alexander Litaay (F-PDIP) saat membacakan pandangan Fraksi PDI Perjuangan terhadap Perubahan Rancangan Undang-Undang tentang Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Rapat Kerja Komisi II dengan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar yang dipimpin Wakil Ketua Komisi II Herman Khaerudin di Gedung DPR, Rabu (2/2)
Stigmatisasi pemerintah yang tercermin dari pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada sidang Kabinet Terbatas 26 Januari 2010 menurut Litaay sangat melukai perasaan publik Yogyakarta, bahkan dimaknai akan memberangus identitas dan sistem hidup yang selama ini mengayomi masyarakat Yogyakarta dan mampu menjaga harmoni sosial. “Presiden keliru mempertentangkan sistem monarki dengan demokrasi sistem pemerintahan DIY,” terangnya.
Dijelaskan Litaay bahwa pernyataan Presiden menimbulkan respon penolakan secara masif, baik dilakukan oleh elemen masyarakat dan pemangku kepentingan setempat, termasuk lembaga-lembaga poltik formal seperti DPRD DIY dan DPRD Kabupaten/Kota se-DIY.
Alexander menyatakan bahwa pernyataan pemerintah yang menyatakan bahwa “Bila saatnya Sultan dan Paku Alam berusia senja, sudah tidak pada tempatnya lagi beliau dibebani dengan tugas-tugas yang sangat berat. Atau bila Sultan bertahta, seorang yang berusia remaja bukan pada tempatnya diberi tugas yang berat sebab belum mampu dipikulnya” dinilai sangat lemah dan cenderung mengada-ada.
Pemerintah dianggap Litaay menafikkan mekanisme internal keraton yang terbukti efektif mengantisipasi beberapa kemungkinan sebagaimana disebut pemerintah. “Keraton memiliki aturan-aturan internal yang disebut Paugeran yang didalamnya juga mengatur sistem perwalian ketika Sultan yang bertahta masih berusia remaja,” kata Litaay.
Berbeda dengan Litaay, Anggota Komisi II Jufri (F-PD) menyatakan bahwa RUU tentang Keistimewaan DIY harus tetap berpedoman pada demokrasi dengan berubahnya sistem monarki absolut menjadi monarki konstitusional.
Menurut Jufri, demokrasi merupakan sebuah kunci revitalisasi bangsa. Jika tidak ada revitalisasi yang terwujud maka RUU tersebut tidak mencerminkan status keseimbangan suatu daerah khususnya DIY. Hal tersebut dapat dilihat dari segi perspektifnya yang dinilai belum sepenuhnya menunjukkan aspek perubahan suatu daerah.
“Dengan perubahan yang mengatur kedua sistem tersebut dapat mencerminkan simbol pemersatu bangsa melalui konsep konstitusional yang diterapkan di Keraton Yogyakarta,” jelas Jufri. (tm/sc)