Perlu Keseimbangan Perusahaan BUMN dengan Swasta
Tim Kunjungan Kerja Komisi VII DPR RI ke Pabrik Semen Besowa, di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan Foto : Singgih/mr
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Ridwan Hisjam meminta pemerintah menyeimbangkan serapan pasar antara perusahaan di bawah naungan BUMN dengan perusahaan swasta. Menurut Ridwan, keseimbangan itu penting terutama untuk menjaga kestabilan ekonomi nasional. Diketahui saat ini perusahaan BUMN sudah menguasai pasar dalam negeri hingga lebih dari 50 persen, tentu saja perusahaan swasta merasa dirugikan.
“Dengan adanya kebijakan sinergi BUMN, sehingga proyek-proyek pemerintah memakai produk-produk BUMN juga. Ini perlu menjadi perhatian, pemerintah juga perlu memperhatikan perusahaan swasta, karena jika perusahaan swasta turun bisa mengakibatkan ekonomi kita goyang,” ungkap Ridwan saat memimpin Tim Kunjungan Kerja ke Pabrik Semen Besowa, di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Sabtu (22/6/2019).
Politisi Fraksi Partai Golkar ini menjelaskan, ekonomi yang ideal seharusnya roda perekonomian sepertiga dijalankan oleh negara (BUMN) serta selebihnya dikelola oleh swasta. Karena negara harus menjadi lokomotif penggerak perekonomian. “Jangan BUMN menjadi lokomotif sekaligus juga menjadi gerbongnya, yang seharusnya gerbongnya menjadi milik rakyat (swasta),” tambah Ridwan.
Ia mencontohkan penggunaan semen pada proyek infrastruktur, dimana pemerintah mengunakan semen di bawah naungan BUMN. Memang sinergi BUMN berdampak positif, namun tanpa harus mengesampingkan pihak swasta yang selama ini menjaga stabilitas perekonomian nasional.
Pada kesempatan yang sama, Pimpinan PT. Semen Besowa Subhan Aksa Mahmud menyampaikan bahwa Pabrik Semen Bosowa memiliki kapasitas produksi sekitar 2,8 juta ton per tahun. Produksi semen menurutnya sudah Over supply sekitar 35 persen tahun ke tahun dari serapan produksi.
Subhan Aksa juga berharap perlunya sektor transportasi yang mumpuni seperti ketersediaan kapal internasional. “Contohnya di Negara Vietnam dan Singapura yang mempunyai cost pengangkutan lebih murah dan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) mereka yang lebih rendah. Tentunya di bagian cost yang selama ini menghambat Kapal Cargo Indonesia, yaitu keterbatasan harga BBM, Jumlah quantity ekspor, Sektor Pelabuhan dan lainnya,” pungkasnya. (skr/es)