RUU Bea Meterai Harus Atur Dokumen Digital
Rancangan Undang-Undang (RUU) Bea Meterai mulai dibahas Komisi XI DPR RI dengan Menteri Keuangan. RUU ini perlu penyempurnaan seiring kemajuan teknologi digital. UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai yang lama masih menitikberatkan pada objek dokumen kertas. Padahal, kini ada dokumen digital yang juga berkembang.
Penjelasan ini disampaikan Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan usai mengikuti rapat kerja dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di ruang rapat Komisi XI DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (3/7/2019). Menurutnya, perlu ada perluasan definisi dokumen selain dokumen kertas. Pasalnya, saat ini sudah ada UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur transaksi elektronik, dokumen elektronik, dan tanda tangan elektronik.
“Dalam rangka mengakomodasi perubahan yang sedemikian cepat, perlu dilakukan pembaruan dan penyempurnaan UU Bea Meterai. Perubahan ini bertujuan untuk mengamankan penerimaan negara, memberikan kepastian hukum dalam pemungutan bea meterai, menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat, dan mengatur pengenaan bea meterai yang lebih adil,” papar politisi Fraksi Partai Gerindra tersebut.
Selain itu, masih kata Heri, perubahan ini juga ditujukan untuk mengadopsi pemungutan bea meterai yang lazim diterapkan di negara lain (international best practices), menyelaraskan ketentuan bea meterai dengan peraturan-peraturan lain yang terkait, dan menambah serta memperluas dokumen yang dikenakan bea meterai untuk meningkatkan penerimaan negara.
Ditegaskan Heri, pemerintah tidak bisa lagi menaikan tarif bea meterai karena dalam UU yang masih berlaku sekarang, disebutkan bahwa kenaikan hanya bisa dilakukan enam kali dari tarif dasar. Sebelumnya, pemerintah sendiri pernah menerapkan tarif Rp 500 dan Rp 1.000. Perubahan tarif terakhir yaitu Rp 3.000 dan Rp 6.000. Bila ingin menaikkan tarif bea meterai harus merevisi UU Bea Meterai.
“Kondisi penerimaan negara dari bea meterai masih sangat kecil dan tidak akan mengalami peningkatan secara signifikan, karena tarif tetap dan tidak mengalami perubahan. Apabila akan menaikan tarif maka harus dilakukan revisi Undang-Undang Bea Meterai. Selain perubahan tarif untuk meningkatkan penerimaan negara dari bea materai dapat dilakukan dengan menambahkan objek yang dikenakan bea meterai,” harap Heri.
Kepada Menkeu Sri Mulyani, Heri sempat bertanya berapa proyeksi potensi penerimaan negara bila RUU Bea Meterai disetujui. Dalam rapat tersebut Menkeu menjawab, potensinya saat ini sekitar Rp5,03 triliun. Namun, Heri memperkirakan potensinya sekitar Rp8,8 triliun bila bea meterai dinaikkan di luar bea meterai dokumen digital. Kontribusi bea meterai, sambung mantan Wakil Ketua Komisi VI DPR itu, terhadap penerimaan pajak masih sangat kecil. Pada 2014, Direktorat Jenderal Pajak hanya meraup Rp1,27 triliun dari bea meterai. Sementara tahun 2018 lalu sebesar Rp1,8 triliun.
“Bea meterai memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan, karena sesuai dengan kebutuhan manusia yang selalu melakukan transaksi dan penyerahan dalam kegiatan sehari hari. Dengan perkembangan ini akan menjadi potensi penambah penerimaan negara,” imbuh Heri. (mh/es)