DPR Nilai Pemerintah Lamban Hadapi Ketidakstabilan Harga Minyak
DPR mengkritik sikap pemerintah yang lamban dalam menghadapi dampak ketidakstabilan harga minyak akibat krisis di Timur Tengah. Sampai saat ini pemerintah ini masih belum juga memiliki kebijakan yang jelas terkait harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Pendapat tersebut disampaikan oleh Anggota Komisi XI DPR RI Yan Herizal,di Jakarta, Selasa (15/1)
“Semakin lama pemerintah menunda, maka beban subsidi APBN akan semakin besar, dan yang akan dirugikan adalah rakyat.” tutur Yan.
Seperti diberitakan sebelumnya, saat ini ada tiga opsi yang berkembang terkait kebijakan harga BBM. Yang pertama adalah menaikkan harga premium sebesar Rp 500 serta pemberian cashback untuk angkutan umum. Kedua, menjaga harga pertamax pada level Rp 8.000 per liter, dengan harapan ada migrasi pengguna premium ke pertamax. Dan ketiga adalah penjatahan konsumsi premium dengan menggunakan sistem kendali yang bukan hanya berlaku pada angkutan umum tapi juga motor.
Dalam pandangan politisi PKS ini, keterlambatan pemerintah dalam mengambil keputusan, tentu saja merugikan rakyat karena konsumsi BBM bersubsidi sudah melampaui kuota yang ditetapkan sehingga pembayaran subsidi kepada Pertamina terlambat, akhirnya distribusi BBM terganggu dan efeknya kelangkaan terjadi di mana-mana.
“Salah satu cara untuk mencegah jebolnya APBN 2011 adalah dengan mengevaluasi program subsidi BBM yang selama ini dinilai tidak tepat sasaran. Kebijakan untuk subsidi banyak menikmati dari kalangan kaya, padahal subsidi seharusnya diberikan untuk orang-orang yang kesulitan ekonomi.” kata Yan
Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Sulawesi Tenggara ini menjelaskan subsidi BBM dalam APBN saat ini sebesar 36 juta kiloliter atau 100 juta liter perhari dengan besaran subsidi Rp2.000 perliter maka besaran subsidi mencapai Rp200 miliar perhari. Itu asumsi di harga minyak US$70 perbarel, jika sekarang sudah di atas US$100, bisa dibayangkan jika pemerintah terlambat atau menunda perbaikan sistem subsidi ini.
“Saya berharap pemerintah bisa memenuhi janjinya untuk mengoptimalkan efisiensi anggaran belanja pemerintah yang pada tahun ini ditargetkan bisa hemat hingga 10%. Apabila penghematan anggaran itu dilakukan oleh seluruh kementerian dan lembaga, maka kita bisa lebih efisien dan tidak perlu memperbesar jumlah hutang kita lagi. ” tegasnya di sela-sela waktu rapat di DPR.
Menurut Yan, meskipun dari sisi produksi (lifting) minyak rendah, tetapi potensi penerimaan migas nasional tetap besar. Hal ini merujuk pada rata-rata harga minyak dalam negeri (ICP) yang sudah menembus US$100 per barel saat ini.
“Penerimaan negara harus meningkat karena kalau harga minyak naik, pasti penerimaan migas pun meningkat. Penerimaan migas itu kan macam-macam sumbernya, ada dari pajak penghasilan, PPN, PNBP dan lainnya.” tambahnya. (Si)