Komisi VII Apresiasi Masukan terkait RUU EBT
Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VII DPR RI di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/9/2020). Foto : Arief/Man
Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto mengapresiasi masukan-masukan yang diberikan berbagai organisasi seperti Kamar Dagang Industri (Kadin), Tropical Landscape finance facility (TLFF) dan PT Sarana Multi Infrastruktur untuk Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dari sudut pandang investasi dan pembiayaan proyek.
Demikian disampaikan Sugeng saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VII DPR RI di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/9/2020). “Saya mengapresiasi dan berterimakasih atas berbagai masukan yang sangat berharga, baik dari Kadin, TLFF, PT Sarana Multi Infrastruktur,” ucap Sugeng.
Disampaikan Sugeng, masukan yang diperoleh Komisi VII DPR RI diantaranya perlu adanya badan pengelola energi baru terbarukan, masukan itu sangat berharga dan riil sifatnya. Kemudian bagaimana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menuntaskan sustainable finance road map atau ketentuan, aturan bagaimana perbankan melalui skema tertentu menjadi sangat efektif dan efisien melakukan pembiayaan-pembiayaan untuk EBT.
“Saya membayangkan bagaimana roof top-roof top itu bisa leasing. Ada program sejuta rumah dengan 1000-2000 watt roof top, tentu dengan menggunakan TKDN (tenaga kerja dalam negeri), pembiayan rumah, dan penguasaan teknologinya. Tentu hal tersebut akan menimbulkan multiplier effect yang cukup baik. Intinya, motor saja bisa menggunakan leasing, apalagi EBT ini,” papar papar Sugeng.
Meski demikian, ada catatan menarik atas kritikan Wakil Ketua Umum Kadin Halim Kalla yang menyampaikan secara tegas untuk menyudahi energi fosil. Menjawab masukan tersebut, politisi Partai NasDem ini menyatakan bahwa energi fosil tidak bisa begitu saja dihapuskan.
Ia menjelaskan pada tahun 2025 mendatang, meski Indonesia sudah mampu memproduksi EBT namun bauran energinya masih sekitar 23 persen, minyak 25 persen, gas 22 persen, sementara batu bara masih paling tinggi, yakni sekitar 30 persen. Demikian juga dalam bauran energi nasional di tahun 2050 mendatang, dimana minyak masih 20 persen, gas 24 persen, EBT menjadi 31 persen, namun batu bara masih cukup tinggi yakni sekitar 25 persen.
“Oleh karena itu kami setuju mendorong agar dilakukan hilirisasi batubara untuk menjadi energi primer yang lebih ramah lingkungan ini, dengan dirubah menjadi semacam Dimethyl Ether atau proses DME,” ujar Politisi dapil Jawa Tengah VIII itu.
Pada kesempatan itu selain proses pembiayaan atau permodalan dalam perbankan nasional, Halim Kalla juga memberikan sejumlah masukan yang menjadi hambatan dalam pengembangan investasi di bidang EBT. Diantaranya terkait penetapan harga tanpa tingkat pengembalian investasi yang layak untuk proyek EBT.
Termasuk juga insentif yang kurang menarik bagi Investor di mana pemberian tax holiday dan tax allowance hanya lima tahun. Padahal lima tahun pertama setelah operasi, proyek masih cash flow. Selain itu Kadin juga mengakui regulasi yang berubah-ubah memperburuk iklim investasi di Indonesia di bidang Energi Baru Terbarukan. (ayu/es)