DPR SAHKAN RUU PERFILMAN MENJADI RUU INISIATIF DPR
01-05-2009 /
KOMISI X
DPR sahkan RUU Usul Inisiatif Komisi X DPR RI tentang Perfilman menjadi RUU Perfilman DPR RI menggantikan UU No.8 Tahun 1992 yang dianggap sudah tidak mengakomodir perkembangan dunia perfilman. Hal itu terungkap pada saat Sidang Paripurna yang dipimpin Ketua DPR RI H.R Agung Laksono di Nusantara II, Rabu (29/4).
Juru bicara dari Fraksi Demokrat Nurul Qomar, menilai UU No.8 Tahun 1992 tentang Perfilman sudah selayaknya diganti agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, aspirasi dan tuntutan masyarakat khususnya masyarakat perfilman Indonesia.
“Dengan semangat reformasi menjadikan perfilman Indonesia berkualitas, berdiri sendiri dan dapat bersaing di tengah industri perfilman dunia,†ujarnya.
Musfihin Dahlan juru bicara dari Fraksi Golongan Karya mengungkapkan jika dunia perfilman Indonesia berada pada kondisi belum optimalnya penggunaan film sebagai media pembentuk karakter bangsa serta belum terintegrasinya fungsi film sebagai karya budaya, hiburan, informasi, pendidikan nilai serta ekonomi.
Selain itu proses perizinan dirasakan masih panjang, persaiangan usaha perfilman terkesan tidak sehat, penggunaan sumber daya dalam negeri masih belum optimal, dan lemahnya kelembagaan perfilman.
“RUU perfilman sangat dibutuhkan terkait tugas pengawasan dan sensor film mengingat saat ini marak penjualan produk film bajakan,†ujar juru bicara Fraksi PDIP Dedy Sutomo.
Oleh sebab itu juru bicara Fraksi PAN Joko Santoso memandang pentingnya RUU Perfilman yang dapat mengantisipasi perkembangan dunia perfilman agar dapat menjangkau seluruh aspek perfilman dan sekaligus mewujudkan tatanan perfilman secara terpadu.
Mengingat adanya keterbatasan lembaga sensor yang ada, maka diperlukan upaya revitalisasi agar lembaga yang strategis ini dapat berperan secara optimal tanpa harus mengorbankan kualitas film. “Lembaga sonsor perlu berbagi tugas dengan lembaga penyiaran,†tegasnya.
Juru bicara Fraksi PKS Abdi Sumaithi menekankan secara tegas perlunya keberpihakan pemerintah terhadap industri perfilman nasional. “RUU ini harus pula menempatkan film Indonesia sebagai unsur perekat bangsa, filter untuk kepentingan nasional dari serbuan film asing, film Indonesia harus lebih menekankan pada fungsi edukatif daripada sisi komersil,†ujarnya.
Sementara itu juru bicara Fraksi PPP Djabaruddin Ahmad, juru bicara Fraksi PKB Muchotob Hamzah dan juru bicara Fraksi PDS Ferdinand K. Suawa menuturkan bahwa perkembangan perfilman yang didalamnya erat kaitannya dengan aspek komersialisasi, sangat diperlukan sebuah regulasi.
Regulasi yang mengatur pendistribusian, anti monopoli dan liberalisasi perfilman, perlindungan terhadap insane perfilman dan adanya upaya mengangkat konten daerah dan industri perfilman daerah untuk mendapat pengakuan nasional.
Hendaknya RUU ini dapat bersinergi dengan berbagai peraturan pemerintah baik di pusat dan daerah sehingga tidak saling bertentangan karena pada akhirnya akan sangat mempengaruhi efektifitas dan efisiensi undang-undang tersebut.
Fraksi BPD dengan jubirnya Maria Margaretha dan Fraksi PBR dengan jubir Kasmawati TZ. Basalamah berpandangan jika film harus diberikan ruang gerak seluas mungkin untuk melakukan eksplorasi yang mencerminkan kekayaan dan keberagaman khasanah budaya yang dimiliki bangsa ini.
Sehingga potensi film dapat dioptimalkan sebagai media yang memiliki nilai penting dan strategis untuk membangun, memperluas wawasan akan nilai seni budaya yang kita miliki serta mempererat karakter bangsa. (da)