Alami ‘Oversupply’, Industri Semen Butuh Dukungan Kebijakan
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Gde Sumarjaya Linggih. Foto Azka/Man
PT Semen Indonesia merupakan salah satu industri strategis yang dimiliki oleh Indonesia yang menguasai pasar saham lebih dari 53 persen. Namun dengan kelebihan produksi hingga mencapai 60-70 ton, serta berkurangnya penjualan di masa pandemi membuat industri tersebut terancam. Hal ini membuat kebijakan strategis dari para pemangku kepentingan dan DPR RI menjadi sangat penting.
Hal tersebut diutarakan oleh Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Gde Sumarjaya Linggih kepada Parlementaria usai memimpin Tim Kunjungan Kerja Komisi VI DPR RI melakukan pertemuan dengan jajaran direksi PT Semen Indonesia dan anak perusahaannya PT SBI di Narogong, Jawa Barat, Kamis (28/1/2021). Ia mengaku akan melanjutkan pembahasan masalah ini dengan berkoordinasi dengan pemerintah.
“Karena masih adanya oversupply, maka diharapkan untuk membatasi berdirinya pabrik semen baru. Nah ini tentu akan menjadi kebijakan-kebijakan bagi kami dalam Raker, baik dengan Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan termasuk juga dengan Kepala BKPM. Sehingga kami harapkan Semen Indonesia nanti tetap bisa hidup, bisa bersaing di Indonesia,” jelas Demer, sapaan akrabnya.
Demer menjelaskan permasalahan oversupply ini harus diantisipasi segera, agar tidak masuk ke dalam persoalan yang lebih besar lagi. Menurutnya harus ada penelitian lebih lanjut guna mengetahui kapasitas semen nasional sehingga dapat menyeimbangkan dengan pertumbuhan industri Indonesia.
“Ya kebutuhan nasional kita dengan kapasitas nasional juga tidak seimbang dimana pertumbuhan industri juga cukup besar, bisa bangkrut juga Semen Indonesia ini ke depan. Tentu ada perlu kehati-hatian kita terhadap masa depan Semen Indonesia. Untuk itu harus segera kita bahas,” ucap politisi Fraksi Partai Golkar tersebut.
Senada dengan Demer, Anggota Komisi VI DPR RI Nasril Bahar mengatakan agar pembangunan pabrik semen asal Tiongkok dimoratorium, karena tidak memberikan profit signifikan bagi pembangunan di Indonesia. Menurutnya kementerian harus memaparkan fakta yang terjadi di lapangan kepada Presiden sehingga ada keputusan yang bisa diambil.
“Mereka dalam membangun pabrik, mereka hanya memindahkan pabrik yang dari luar ke Indonesia. Sehingga biaya konstruksi mereka jauh lebih rendah, sementara kita hari ini masih melakukan semacam recovery biaya-biaya yang sudah kita keluarkan. Sehingga ada beban terhadap biaya investasi. Harus ada keputusan dari pemerintah,” tandas politisi Fraksi PAN itu. (er/sf)