Publik Perlu Cermati Fenomena Tidak Tahu Kalau Tidak Tahu
Terlalu banyak bicara terkadang membuat orang lupa melakukan evaluasi dan introspeksi terhadap kemampuan diri. Dalam kondisi tertentu orang akan terjebak kondisi tidak tahu kalau tidak tahu.
Fenomena ini sering muncul dalam siaran dialog atau pemberitaan televisi dan akan berdampak serius pada bangsa apabila pemimpin atau pemegang kekuasaan yang menghadapi masalah, tidak tahu kalau tidak tahu.
“Dalam tayangan televisi banyak orang bicara pada dasarnya kita lihat dia tidak tahu kalau dia tidak tahu. Sehingga kita melihatnya seperti dagelan. Itu paling berbahaya kalau orang tersebut punya kekuasaan dan dia tidak tahu bahwa dia tidak tahu, apapun keputusannya bisa membahayakan, bisa hancur negara ini,” kata Ketua DPR RI Marzuki Alie saat menyampaikan pidato dalam Rapat Terbuka Senat Universitas Mahendradatta di Denpasar, Bali, Selasa (20/12/12).
Ia mengingatkan kepada para mahasiswa, wisudawan dan undangan yang hadir dalam acara tersebut pentingnya evaluasi diri. Dalam lingkup yang lebih luas evaluasi bisa berarti menejemen strategi sekaligus melakukan analisa SWOT, memahami kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi. Mampu berhitung, mengukur bahwa kita tahu kalau kita tidak tahu.
Evaluasi dan analisa SWOT ini perlu pula dilakukan wisudawan yang akan segera memasuki pasar kerja yang saat ini masih terbatas. Dengan prediksi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2012 berkisar 6,7 persen maka peluang kerja yang tersedia diperkirakan tidak lebih dari 2,5 juta, sementara angka putus kerja saat ini masih cukup tinggi berkisar 9-10 juta orang. “Kalau ingin mendapatkan pekerjaan artinya kita harus siap kompetisi 1 banding 4, itu kalau belum ada angkatan kerja baru. Pilihan kompetisi yang lain adalah membuka peluang kerja sendiri,” imbuhnya. Perhatikan tantangan yang akan dihadapi, berhitung bagaimana peluang untuk mendapatkan apa yang dicita-citakan.
Pada bagian lain politisi Partai Demokrat ini mengingatkan salah satu tantangan pendidikan Indonesia saat ini adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia yang unggul. Merekalah yang kemudian ikut berjuang mencari solusi bagi kemiskinan dan pengangguran yang melilit bangsa ini. Komitmen dibidang pendidikan jelas sudah diatur dalam pasal 31 UUD NRI tahun 1945 yang mengharuskan negara menyediakan pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD. Namun ternyata hal itu masih belum dapat menyelesaikan persoalan pendidikan bangsa ini, disitulah peran swasta seperti Universitas Mahendradatta masih diperlukan.
“Data BPS menunjukkan baru sebagian kecil anak bangsa yang memperoleh pendidikan tinggi setingkat strata 1, apalagi S2 atau S3. Bahkan baru 60 persen yang menyelesaikan pendidikan setingkat SMP,” tambahnya. Ia menekankan tidak perlu berkecil hati kuliah di universitas swasta karena pembuktian berhasil atau tidak seseorang adalah tergantung manusianya. “Paling penting komitmen untuk meningkatkan kualitas diri, artinya tergantung pada diri kita sendiri, the man behind the gun,” demikian Marzuki.
Sementara itu Rektor Universitas Mahendradatta (UnMar) Dr. Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna MWS III menjelaskan kampusnya memiliki komitmen untuk meningkatkan angka pendidikan tinggi sesuai agenda Bali Intelektual 2020. “Target kita 50 persen plus 1 pada tahun 2020 nanti generasi muda Bali sudah mengenyam pendidikan tinggi minimal strata 1,” jelasnya. Disamping itu kampus swasta pertama di Bali yang berdiri atas ide Presiden RI pertama Soekarno bersama Shri Wedastra Suyasa ini juga bertekad mewujudkan cita-cita Bali The Island of Science.
Dalam kesempatan itu Rektor Unmar juga menyematkan lencana Cihna Dalem kepada Ketua DPR RI Marzuki Alie sebagai simbol terwujudnya tali persaudaraan. Acara dimeriahkan pula dengan upacara pemotongan tumpeng sebagai tanda peringatan ulang tahun Yayasan Mahendradatta yang memasuki usia 49 tahun. (iky/foto : Ig)