HAK ANGKET DPT DIAJUKAN KE PARIPURNA
12-05-2009 /
LAIN-LAIN
Tiga puluh delapan anggota pengusul hak angket terhadap pelanggaran hak konstitusional warga negara untuk memilih, mengajukan hak angket tersebut pada Rapat Paripurna DPR RI, Selasa (12/5) yang dipimpin Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar, untuk menjadi hak angket DPR.
Dalam hal ini, Wakil Pengusul Hak Angket Hasto Kristiyanto (F-PDIP) mengatakan, pengusul berpendapat bahwa sipil dan politik warga negara dalam Pemilu adalah salah satu pilar utama dalam tatanan negara yang demokratis. UUD 1945 pun dengan tegas menjamin pemenuhan hak konstitusional warga negara baik sebagai pemilih maupun sebagai kandidat yang dipilih dalam sutau penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil (jurdil).
Hasto mengatakan, dasar pertimbangan pengusul terhadap pengajuan hak angket ini adalah bahwa memilih adalah hak konstitusi warga negara sebagai bagian dari warisan peradaban demokrasi yang telah kita pilih bersama.
Menurut Hasto, menempatkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebagai persoalan teknis administratif justru hanya melahirkan citra negatif sebagai bangsa yang tidak mewarisi peradaban demokrasi.
Hal ini dapat dilihat pada kasus mahasiswa Papua yang sudah lama menetap di Yogyakarta, tapi tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Dalam hal ini, apakah Pemerintah dan KPU layak memperlakukan mereka sehingga mereka tetap tidak memiliki hak pilih.
Akhirnya, kata Hasto, untuk mendapatkan hak pilihnya itu mereka menempuh cara dengan cara unjuk rasa, dan berhadapan dengan aparat Kepolisian hanya untuk mempergunakan hak konstitusinya sebagai warga negara.
Kekecewaan ini juga dialami jutaan warga negara yang tidak dapat memilih. Ribuan orang di rumah sakit dan puluhan ribu warga yang berada di lembaga pemasyarakatan tidak bisa menggunakan hak pilihnya akibat tidak adanya Tempat Pemungutan Suara (TPS) khusus di tempat tersebut. Apakah fakta ini hanya dianggap sebagai persoalan teknis, “ kata Hasto.
Pengusul hak angket berpendapat, menyederhanakan DPT sebagai persoalan teknis administratif hanya berujung pada ketidakpercayaan yang semakin besar terhadap mekanisme demokrasi.
Argumentasi praktis dari masalah ini tidak bisa dianggap remeh. Sebab, kata Hasto, penghilangan hak konstitusi warga negara untuk memilih pada akhirnya berujung pada legitimasi pemilu itu sendiri. Artinya, semakin banyak warga negara yang tidak bisa memilih, semakin besar pula gugatan atas legitimasi pemilu itu.
Hasto menambahkan, kegagalan dalam DPT merupakan investasi negatif demokrasi yang akan menimbulkan pertanyaan terhadap legitimasi pemilu. Sebab penghilangan hak pilih ini terjadi secara masif dan sistemik sebagaimana kesimpulan penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM.
Lebih jauh Hasto mengatakan, cukup banyak data terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang disampaikan oleh masyarakat, partai politik, media massa dan pihak lainnya.
Melalui fungsi pengawasan di Komisi II DPR sejak bulan Juni 2008 telah lama mempersoalkan perubahan daftar pemilih secara signifikan yang banyak menimbulkan kecurigaan. Jumlah pemilih yang semula 154 juta lebih menjadi lebih dari 171 juta pemilih.
Namun dalam hal ini sangat disayangkan, luasnya pemberitaan terkait dengan persoalan DPT tetap tidak merubah sikap Pemerintah dan KPU. Sementara pemerintah tetap menyatakan tidak bertanggung jawab atas buruknya kualitas Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yang berdampak pada buruknya DPT.
Padahal tahun 2007, pemerintah telah menggunakan anggaran sebesar Rp 230 miliar untuk sistem informasi dan administrasi kependudukan. Diluar itu, Departemen Dalam Negeri juga memperoleh dukungan dana pemilu yang cukup besar yaitu Rp 667 miliar pada APBNP tahun 2008 dan sebesar Rp 174 miliar melalui APBN 2009. Anggaran tersebut diluar anggaran pemutakhiran daftar pemilih hingga penetapan DPT sebesar Rp 3, 8 triliun.
“Mengapa dengan anggaran yang begitu besar, namun tidak ada yang bertanggung jawab atas masalah DPT ini,†kata Hasto. Akuntabilitas terhadap dana rakyat inilah yang juga menjadi pertimbangan lain pengusul untuk mengusulkan hak angket ini.
Dalam hal ini pemerintah diduga melanggar Peraturan Perundang-undangan, seperti UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang terbukti dengan banyaknya pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Dewan Integritas Bangsa menyebutkan tidak kurang dari 30 juta warga negara kehilangan hak pilihnya karena namanya tidak tercantum dalam DPT.
Berkaitan dengan persoalan DPT ini terdapat bukti yang cukup meyakinkan bahwa mekanisme penyusunan DPT bertentangan dengan UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu.
Pelanggaran tersebut antara lain terjadi dengan tidak dilakukannya pemutakhiran data pemilih akibat tidak adanya petugas pemutakhiran data pemilih yang tidak sempat dibentuk PPS.
Terhadap permasalahan ini DPR harus mengambil sikap tegas atas hilangnya hak warga negara untuk memilih. Karena itu, pengusul memandang hak angket ini harus ditegakkan sebagai upaya menyelamatkan demokrasi. (tt)