Komisi III Tinjau Lapas Kelas I Semarang
Komisi III DPR RI, komisi dewan yang membidangi hukum dan peradilan, pada reses persidangan kali ini mengunjungi provinsi Jawa Tengah. Setelah melakukan pertemuan dengan gubernur Bibit Waluyo dan jajaran SKPD provinsi Jawa Tengah, Kejaksaan Tinggi, dan Kepala Kejaksaan Negeri se-Jawa Tengah, Tim bergerak menuju Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Semarang yang terletak di Jl. Raya Semarang – Boja Km. 4.
Usai penijauan Ketua Tim Komisi III, Tjatur Sapto Edi (F-PAN) mengatakan, provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi yang berpenduduk besar dengan 36 kabupaten/kota, tentunya mempunyai persoalan hukum yang juga besar.
Tjatur mengungkapkan, berdasarkan keterangan Kalapas, Lapas Kelas I ini sudah melebihi kapasitasnya. “Lapas ini sudah over capacity hampir 100%, kapasitasnya hanya 530 tetapi dihuni oleh 978 orang narapidana,” kata Tjatur.
Wakil Ketua Komisi III ini menyatakan, temuan ini menjadi perhatian Komisi III untuk segera dicari jalan keluarnya. Selain itu di blok khusus narkoba, narapidana dengan vonis pengedar dan pemakai disatukan. “Ini kan berbahaya, bisa-bisa mereka malah bekerjasama,” kata Tjatur. “Kita harus hindari itu,” tegasnya.
Kalapas Kelas I Semarang, Nyoman Putra Surya kepada Tim Komisi III menjelaskan, memang ada napi pengguna narkoba yang disatukan dengan napi produsen narkoba, hal ini dilakukan karena ruang yang terbatas. ”Pengedarnya masih disatukan karena hukumannya pendek-pendek,” jelas Kalapas memberi alasan. Nyoman Putra menambahkan, dalam pengeledahan pengunjung petugas sering menemukan narkoba yang dimasukkan ke dalam roti, botol minuman, maupun botol kosmetik.
Dalam peninjauan tersebut, Tim Komisi III juga sempat berdialog dengan para narapidana kasus tindak pidana korupsi (Tipikor), beberapa orang diantaranya merupakan mantan kepala daerah di Jawa Tengah. Kepada Komisi III, para napi tipikor mengeluhkan tuduhan merugikan keuangan negara yang dikenakan terhadap mereka. Tjatur Sapto Edi mengatakan, hingga saat ini lembaga yang berhak menentukan mengenai kerugian negara masih simpang siur. “Apakah kemenkeu, BPKP, BPK, atau penyidik yang berwenang menentukan soal kerugian negara,” ucap Tjatur. “Persoalan ini tentu akan menjadi masukan bagi revisi RUU Tipikor,” tambahnya.
Saat ditanya wartawan mengapa banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi, Tjatur mengatakan, korupsi terjadi karena ada niat dan kesempatan, juga terkait soal pelaksanaan anggaran maupun tekanan sistem politik. Menurut keterangan para terpidana, banyak kasus yang sebenarnya tidak mereka lakukan, tetapi ditarik menjadi kasus yang melibatkan mereka dengan berbagai macam asumsi. “Saat ini DPR sedang melakukan revisi terhadap UU tentang pemerintahan daerah, UU Pilkada dan UU Tipikor, tentunya temuan ini akan menjadi masukan yang berharga untuk perbaikan UU,” ujar Tjatur menjelaskan.
Ketua Fraksi PAN DPR RI ini menjelaskan, ada lima kejahatan yang dikategorikan berat yaitu terorisme, korupsi, narkoba, kejahatan trans nasional, dan perbuatan melawan negara. Tjatur mengatakan anggota Komisi III sepakat untuk dilakukan moratorium remisi, pemberatan, atau apapun istilahnya, tetapi harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai aturan perundangan. “Kita tidak bisa menerapkan aturan dengan cara melanggar undang-undang,” tegas Tjatur. (Roy.Tvp)