Mulyanto Minta Pemerintah Atur Kuota Ekspor CPO
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto. Foto: Dok/Man
Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto minta Pemerintah berlakukan pembatasan kuota ekspor crude palm oil (CPO). Hal itu diungkapkannya menyusul meningkatnya harga jual CPO di pasar internasional sejak bulan Oktober lalu. Bila perlu, pemerintah bisa memberlakukan kebijakan domestic market obligation (DMO) atau prioritas penjualan ke dalam negeri seperti yang dikenakan pada komoditas batu bara dan gas alam.
"Pembatasan ini perlu dilakukan agar tidak merusak persediaan CPO untuk keperluan industri dalam negeri. Pemerintah harus gerak cepat menyikapi masalah ini, karena pasokan CPO untuk industri minyak goreng dan biofuel mulai dikeluhkan," ungkap Mulyanto melalui pesan singkatnya, Jumat (5/11/2021).
Menurut politisi dari Fraksi PKS ini, jika hal tersebut tidak segera ditangani, bisa berdampak fatal. Di antaranya harga minyak goreng akan melesat tinggi, juga ketersedian biofuel pun ikut terancam. “Ujung-ujungnya masyarakat lagi yang jadi korban,” kilahnya.
Diketahui sejak Oktober lalu harga CPO terus naik hingga mencapai harga 1.400 dolar AS per metric ton (MT). Hal ini mendorong pengusaha sawit gencar melakukan ekspor CPO ke beberapa negara. Namun dampaknya persediaan CPO untuk industri dalam negeri mengalami kelangkaan.
Mulyanto menjelaskan ekspor CPO dalam kondisi harga jual tinggi memang menggiurkan. Namun, pemerintah harus tetap memperhatikan kebutuhan CPO untuk bahan baku industri minyak goreng dan biofuel dalam negeri.
"Jangan sampai semua produksi CPO diekspor untuk mengejar cuan para pengusaha," tegas Mulyanto. Mengingat, saat ini Indonesia tercatat sebagai negara dengan lahan sawit terluas. Karena itu sangat ironis bila negara penghasil CPO terbesar ini mengalami kekurangan pasokan.
Sebagai informasi, impor BBM di tahun 2021, secara umum meningkat dibandingkan dengan tahun 2020. Baik untuk minyak mentah maupun minyak olahan. Padahal Harga minyak terus membumbung di kisaran 83,2 dolar AS per barel. Jauh di atas saat awal pandemi 2020 lalu yang sempat menyentuh 20an dollar AS per barel. "Artinya dengan kondisi ini defisit transaksi berjalan sektor migas akan makin membengkak," pungkasnya. (ayu/es)