Perlu Penguatan Aspek Regulasi untuk EBT
Anggota Komisi VII DPR RI Mukhtarudin saat mengikuti pertemuan tim kunjungan kerja spesifik Komisi VII DPR RI dengan Direktur Utama PT Sundaya Indonesia di Bogor, Jawa Barat, Rabu (8/12/2021). Foto: Bianca/Man
Pemerintah Indonesia menargetkan bauran energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia dapat tercapai sebesar 23 persen pada 2025. Untuk itu, DPR RI sebagai lembaga legislatif terus berupaya melakukan pembahasan-pembahasan pada Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). Anggota Komisi VII DPR RI Mukhtarudin mengatakan, dari aspek regulasi, diperlukan support dari pemerintah bersama DPR untuk memperkuat regulasi dan kebijakan terkait EBT termasuk pentingnya koordinasi antar kementerian terkait.
Hal tersebut disampaikan Mukhtarudin usai mengikuti pertemuan tim kunjungan kerja spesifik Komisi VII DPR RI dengan Direktur Utama PT Sundaya Indonesia yang juga dihadiri oleh Dirjen EBTKE Kementerian ESDM, Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Dirjen ILMATE Kementerian Perindustrian, Direksi PT PLN Persero dan Kadis ESDM Provinsi Jawa Barat, di Bogor, Jawa Barat, Rabu (8/12/2021).
"Kita melihat masih versi awal ya antara (Kementerian) ESDM, PLN dan dunia usaha terkait pengembangan masih parsial-parsial nih, belum terintegrasi. Maka dari itu dalam RUU EBT ini sebagai upaya bahan kita yang nanti akan mengintegrasikan semua stakeholder terkait, dari segi pelaku distribusinya, produsen energinya yang bertebarukan, kemudian sebagai operatornya, dan sebagai pengguna user-nya tentu adalah PLN ya," ujarnya.
Selain itu, Mukhtarudin menilai persiapan Indonesia menuju EBT merupakan pekerjaan rumah bersama, baik pemerintah, DPR dan stakeholder lain seperti produsen, distributor dan pengguna. "Karena energi baru dan terbarukan itu bukan sebuah kebutuhan tapi sebuah kewajiban dan keharusan, ya. Kita akan berangsur-angsur untuk meninggalkan energi fosil, meskipun kita tidak akan meninggalkan 100 persen," imbuhnya.
Politisi Partai Golkar ini menambahkan, meski nantinya energi baru terbarukan mulai digunakan, energi fosil tidak akan 100 persen ditinggalkan. Sebab, Indonesia dinilai masih memiliki daya dukung berupa sumber daya alam dengan potensi yang besar yang menjadi salah satu kekuatan ekonomi di Indonesia. Sehingga kedepan pemanfaatan baik EBT maupun sumber daya alam perlu diseimbangkan.
"Tentu juga kita memperhatikan faktor keseimbangan antara energi baru terbarukan dengan daya dukung SDA kita. Kita kan kaya akan batu bara, minyak, yang masih ada ya, potensi itu masih besar, itu juga kita namakan sebagai kekuatan ekonomi, nah inilah kita akan seimbangkan bagaimana mengintegrasikan antara kepentingan dunia usaha, kemudian operator, PLN dan juga regulasi dengan pemerintah," ujarnya.
Di sisi lain, kendala pemanfaatan EBT seperti misalnya mahalnya investasi penggunaan EBT, menurut Mukhtarudin, hal tersebut memerlukan stimulan dari pemerintah. Kehadiran pemerintah dan para stakeholder dinilai sangat penting dalam memberikan stimulus agar transisi dari energi fosil ke EBT dapat betul-betul terlaksana dengan baik, tanpa menimbulkan persoalan-persoalan yang serius.
"Oleh karena itu memang harus ada stimulan, harus ada treatment dari pemerintah, subsidi ya misalnya kepada PT Sundaya, apa yang perlu disubsidi mereka bisa jual murah gitu ya, nah ini yang harus ke depan kita kembangkan gitu, tapi kalau murni swasta, tanpa ada treatment, tanpa ada stimulus dari pemerintah, sulit ya, karena memang biayanya mahal," sambung legislator dapil Kalimantan Tengah ini. (bia/sf)