F-PKS Tegas Tolak RUU TPKS, Bukhori: Masih Usung Paradigma ‘Sexual Consent’
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bukhori Yusuf. Foto: Ist/Man
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR RI diwakili oleh Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bukhori Yusuf dengan menolak Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sebagai usul inisiatif DPR. Dirinya menilai RUU tersebut masih mengusung paradigma sexual consent (persetujuan seksual).
Walaupun, RUU TPKS, menurutnya, telah menyisipkan frasa iman dan takwa serta akhlak mulia dalam asasnya sekaligus menambahkan klausul dalam poin “Menimbang” bahwa kekerasan seksual bertentangan dengan norma agama dan norma budaya, namun pihaknya tetap memandang seluruh rangkaian RUU TPKS masih mengusung paradigma sexual consent.
“Fraksi PKS mengapresiasi pimpinan dan anggota panja yang telah mengakomodir beberapa usulan kami terkait materi muatan RUU TPKS. Kendati demikian, kami tetap menyayangkan bahwa usulan kami agar ditambahkan rumusan pasal baru yang berbunyi: ‘Ketentuan Pasal 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 harus sesuai dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, norma agama, dan budaya bangsa’ tidak diakomodasi,” papar Bukhori dalam rilisnya kepada Parlementaria di Jakarta, Kamis (9/12/2021).
Ia pun menilai, sejumlah pasal yang disebutkan memiliki isu sentral yang memicu multitafsir dan kontroversi di tengah masyarakat. Sehingga, F-PKS memandang perlu menambahkan rumusan pasal tambahan guna menenangkan suasana kebatinan masyarakat. Hal ini jadi penting untuk memastikan publik memahami itikad baik RUU TPKS, yakni untuk melindungi masyarakat dari tindak kejahatan seksual.
Jika pasal-pasal RUU TPKS tidak dikunci dengan rumusan pasal tambahan sebagaimana yang telah F-PKS usulkan, Bukhori memandang RUU TPKS berpotensi menimbulkan tafsir pelegalan zina dan penyimpangan seksual. Dirinya juga menilai dasar pemidanaan dalam RUU TPKS masih menggunakan tolak ukur hanya pada ada atau tidak kekerasan atau ancaman kekerasan (Pasal 6, 7, 8) sehingga tidak komprehensif untuk menjangkau tindak pidana perzinaan dan penyimpangan seksual.
“Dengan demikian, hanya perbuatan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan saja yang dapat dipidana menurut RUU ini. Akibatnya, perbuatan seksual yang dilakukan di luar perkawinan yang sah, termasuk penyimpangan seksual, yang dilakukan tanpa kekerasan maupun ancaman kekerasan, atau dengan kata lain atas dasar persetujuan (consent), maka tidak dapat dipidana oleh RUU TPKS karena pengaturannya tidak menjangkau hal tersebut. Karena alasan itu, kami memandang RUU TPKS masih mengadopsi paradigma sexual consent,” tegas legislator dapil Jawa Tengah I tersebut.
Tidak hanya itu, Anggota Komisi VIII DPR RI itu memandang apabila RUU TPKS berdiri sendiri tanpa adanya aturan hukum yang melarang perzinaan (perluasan Pasal 284 KUHP) dan larangan LGBT (perluasan Pasal 292 KUHP) lantaran pembahasan RKUHP masih belum berjalan sehingga tidak dapat disinkronisasikan, khususnya terkait dengan kesusilaan/seksual, maka muatan RUU TPKS tak ubahnya mengandung norma Sexual Consent, yakni sejauh tidak ada kekerasan maka hubungan seksual dibolehkan.
Ia melanjutkan, apabila pembahasan dan pengesahan RKUHP dapat terlebih dahulu disahkan, atau pembahasan RUU TPKS dilakukan bersamaan dengan pembahasan RKUHP mengingat materi muatannya sama-sama mengatur tindak pidana yang berkaitan dengan kesusilaan/seksual sehingga penyusunan normanya sejalan satu sama lain, maka dapat dipastikan norma sexual consent musykil memperoleh celah dalam RUU TPKS ini.
“Berdasarkan pertimbangan moral dan yuridis tersebut, maka Fraksi PKS menolak RUU TPKS sebelum didahului adanya pengesahan larangan perzinaan dan LGBT yang diatur dalam UU yang berlaku,” pungkas Bukhori. (ts/sf)