KOMISI II PERSOALKAN KINERJA GAKUMDU
18-05-2009 /
KOMISI II
Komisi II DPR RI mempersoalkan kinerja Sentra Penegak Hukum Terpadu (GAKUMDU) dalam menyelesaikan setiap pelanggaran Pemilu Legislasi yang terjadi di berbagai daerah. Komisi II berpendapat banyak kasus pelanggaran Pemilu yang tidak ditangani dengan jelas.
Demikian disampaikan beberapa anggota Komisi II DPR dalam rapat dengar pendapat dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kepolisian dan Kejaksaan Agung, Senin (18/5), yang dipimpin Wakil Ketua Komisi II H. Eka Santosa (F-PDIP).
Rapat sore itu yang melibatkan lintas sektoral dengan mengundang jajaran Kepolisian dan Kejaksaan Agung membahas penanganan serta penyelesaian pelanggaran Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD yang belum lama berlalu.
Anggota F-PDIP Eddy Mihati mengatakan, temuan dari Komnas HAM dalam laporan investigasi yang dirilis 8 Mei 2009 menyebutkan bahwa sejumlah besar warga negara atau kurang lebih 25-40 persen pemilih potensial mengalami pembiaran sehingga mereka dilanggar hak konstitusionalnya.
Selain itu, dengan diterbitkan Perpu Nomor 1 tahun 2009 yang menjadi pegangan KPU untuk melakukan rekapitulasi ulang juga gagal menuntaskan persoalan data pemilih ini. Jika dihitung dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) KPU yang berjumlah 171,3 juta pemilih, tercatat 49,7 juta orang atau 29 persen tidak dapat menggunakan hak pilihnya. “Jumlah angka golput ini tergolong tinggi,†kata Eddy.
Dalam hal pelaksanaan Pemilu Legislatif, tidak ada TPS yang tidak menghadapi problem DPT yang tidak akurat. Menurut Eddy, persoalan DPT ini merupakan kategori pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana sekaligus yang dilakukan oleh pemerintah dan KPU.
Namun sayangnya, kata Eddy, hingga saat ini belum ada langkah hukum dari pihak Kejaksaan atau Kepolisian. Pelanggaran tersebut memenuhi ketentuan pasal 260 yakni terbukti lalai atau dengan sengaja mengakibatkan orang lain kehilangan hak pilihnya.
Dalam hal ini dia menanyakan, bagaimana Bawaslu sebagai pengawas pemilu dan Kejaksaan serta Kepolisian sebagai pihak yang harus menindaklanjuti pelanggaran DPT ini bertindak. Dan bagaimana kerja Gakundu dalam menangani masalah DPT ini.
Selain itu, Eddy juga mempersoalkan perihal tertukarnya surat suara pada Dapil yang berbeda. KPU mengeluarkan surat edaran Nomor 676 dan 684 yang intinya menganggap surat-surat suara yang tertukar diberbagai daerah itu dianggap sah, yaitu dengan memasukkan suara ke suara partai.
Menurut Eddy, kebijakan KPU tersebut menyalahi ketentuan Pasal 288 UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu, karena menjadikan suara seorang pemilih tidak bernilai dan masuk kategori tindak pidana yang penyelesaiannya dapat dilakukan melalui mekanisme pembentukan badan kehormatan.
Sejauh ini, belum ada tindak lanjut yang memadai dalam menuntaskan berbagai kasus pelanggaran, bahkan terjadi silang sengketa antara Bawaslu, KPU dan penegak hukum (Kejagung dan Polri). “Tugas Gakundu di dalam menangani masalah ini masih mengambang,†kata Eddy.
Senada dengan itu Tumbu Saraswati dari fraksi yang sama menambahkan, banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran pada pelaksanaa Pemilu Legislatif lalu. Seperti kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh kontestan pemilu, penggelembungan suara, surat suara yang tertukar, dan masih banyak lagi pelanggaran pidana pemilu lainnya.
Namun anehnya, ketika dilaporkan pada Panwas di daerah tidak bergeming. Dalam hal ini penyidik tidak menyelidiki secara jauh apa yang sebenarnya terjadi, walaupun diperkuat oleh saksi-saksi.
Tumbu berharap, kejadian serupa tidak akan terulang kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden mendatang. Kalau hal ini dibiarkan, dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan saat dilaksanakannya Pemilu.
Perbedaan Penafsiran
Pada kesempatan tersebut, Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini menjelaskan problematika yang dihadapi Bawaslu dalam menangani pelanggaran pemilu legislatif. Dia mengatakan, secara umum penanganan pelanggaran administratif Pemilu dapat disimpulkan tidak menaati ketentuan pasal 250 UU Nomor 10/2008.
Tidak jarang Pengawas Pemilu harus bolak balik mengkonfirmasi dan menanyakan kepada KPU dan KPUD tentang status penanganan pelanggaran administrasi yang telah diteruskan oleh Pengawas Pemilu kepada KPU sesuai jenjang.
Terkait dengan penegakan hukum tindak pidana Pemilu, Bawaslu mencatat beberapa masalah yaitu, penegakan hukum Pemilu sering terhambat karena perbedaan penafsiran Penyidik Polri atas tugas dan fungsi jajaran Pengawas Pemilu.
Sebagian aparat penyidik Polri berpendapat bahwa Pengawas Pemilu harus dapat mengumpulkan bukti-bukti untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan memenuhi unsur pidana Pemilu.
Dengan keterbatasan waktu hanya 5 hari untuk menindaklanjuti sebuah laporan sejak diterima pelapor, mustahil bagi jajaran Pengawas Pemilu untuk mengumpulkan bukti-bukti untuk memastikan bahwa laporan tersebut memenuhi unsur pidana Pemilu. Apalagi, kata Nur Hidayat, sumber daya manusia yang tersedia sangat sedikit serta kewenangan yang sangat terbatas.
Selain itu adanya perbedaan penafsiran atas ketentuan Pasal 257 UU Nomor 10/2008 yang mengatur putusan pengadilan terhadap kasus pelanggaran pidana Pemilu yang harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional.
Akan tetapi dari pasal yang semula dimaksudkan untuk mempercepat proses penanganan pelanggaran, akhirnya justru menjadi persoalan tersendiri bagi pengawas pemilu dalam menindaklanjuti temuan dan laporan kepada penyidik Polri. Karena kasus-kasus dugaan tindak pidana pemilu selepas tanggal tersebut dinilai sudah melampaui batas waktu.
Sementara itu, Jaksa Agung Muda Pidana Umum A.H. Ritonga mengatakan, ada 510 perkara pelanggaran Pemilu yang ditangani Kejaksaan, 185 perkara pra penuntutan, 68 perkara penuntutan dan 57 perkara yang sudah putus. Untuk perkara yang belum putus, diharuskan menyelesaikan sampai selesai.
Ritonga mengakui dalam praktek dilapangan memang terjadi perbedaan penafsiran batas waktu pelanggaran pidana Pemilu yang harus dilaporkan lima hari sebelum KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional. (tt)