Paripurna Dengarkan Penjelasan Pengusul Interpelasi Moratorium Remisi
Kebijakan pemerintah mengeluarkan moratorium remisi terhadap narapidana korupsi dan terorisme dinilai telah melanggar nilai-nilai HAM dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seluruh hak narapidana telah diatur dalam UU, apabila pemerintah dalam hal ini Kemenkumham ingin menangguhkan atau tidak ingin menunaikan hak tersebut baik sementara maupun sampai waktu yang ditentukan juga harus berdasarkan UU yang berlaku.
“Tanpa landasan peraturan perundang-undangan maka pemerintah menjadikan tindakannya berdasarkan kekuasan, padahal konstitusi jelas menyebut Indonesia adalah negara berdasarkan hukum,” jelas juru bicara pengusul hak Interpelasi Ahmad Yani anggota Komisi III dari FPPP di hadapan peserta rapat paripurna di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (20/3/12).
Ia mengutip Pasal 27 ayat 1 UUD NRI 1945 yang menjelaskan warga negara berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama atas hukum. UU no.12/1995 tentang Pemasyarakatan pasal 14 ayat 1 mengatur narapidana mendapatkan pengurangan masa pidana/remisi, hak asimilasi, termasuk cuti mengunjungi keluarga, hak cuti menjelang bebas dan mendapatkan hak lain sesuai peraturan perundang-undangan berlaku.
Berdasarkan UU no.27/2009, DPR berhak melakukan fungsi pengawasan dan mempertanyakan pemberlakuan kebijakan pemerintah tentang moratorium hak napi. Upaya pelurusan kebijakan tersebut telah beberapa kali dilakukan dalam rapat kerja Komisi III namun tidak terdapat kesepahaman bahkan Menkumham tetap menganggap sahih permberlakuannya.
UUD NRI 1945 Pasal 20a ayat 2 menyebut DPR dapat menggunakan hak Interpelasi meminta keterangan, memperoleh penjelasan lebih lanjut kepada Presiden Republik Indonesia dalam hal ini mengenai pemberlakuan moratorium remisi yang diputuskan tanpa pijakan UU. Ia menekankan apabila tidak dikembalikan kepada koridor hukum kebijakan tersebut akan berdampak luas.
“DPR berhak mendapat penjelasan langsung dari Presiden”, tegas politisi dari daerah pemilihan Sumsel ini. Ada tiga pertanyaan utama yang patut diajukan yaitu; 1. Apakah Presiden RI mengetahui adanya kebijakan pemerintah mengenai moratorium hak napi yang sudah diberlakukan?, 2. Apakah Presiden RI sudah mendapat laporan Menkumham tentang kebijakan moratorium?, 3. Apakah Presiden RI telah menyetujui kebijakan moratorium termasuk melakukan persetujuan sekalipun kebijakan itu hanya ditandatangani oleh seorang pejabat pelaksana tugas.
Pimpinan sidang paripurna Wakil Ketua DPR RI Pramono Anung menjelaskan ada tiga mekanisme berkaitan dengan usulan penggunaan hak Interpelasi. Pertama, memberikan kesempatan kepada pengusul untuk menyampaikan penjelasan atas usul Interpelasi. Kedua, mendengarkan saran dan pendapat fraksi dan ketiga Bamus memutuskan jadwal untuk mengambil keputusan. “Pendapat fraksi dapat disampaikan pada hari ini atau diberi kesempatan untuk mempelajari usulan terlebih dahulu,” tambahnya.
“Kita baru mendengar apa yang disampaikan pengusul, saya kira bijak kalau kita pelajari dulu,” kata Ketua Fraksi PD Jafar Hafsah. Hal yang senada juga disampaikan Wakil Ketua FP Hanura Syarifudin Sudding,”Hak Interpelasi adalah hak mendasar karena sudah diatur dalam tata tertib. Fraksi Hanura meminta diberi kesempatan sampai minggu depan untuk lebih mengkaji usulan ini,” imbuhnya.
Mayoritas fraksi menyatakan meminta waktu satu minggu untuk lebih mendalami usulan penggunaan Hak Interpelasi moratorium remisi. “Dengan demikian kita beri kesempatan pada fraksi dan seluruh angota dewan yang terhormat untuk mempelajari usulan ini kemudian disampaikan pada Bamus untuk dapat diagendakan pada paripurna selanjutya,” ujar Pramono sambil mengetokkan palu tiga kali. (iky)