Pemilu Harus Murah, Mudah, dan Berkualitas
26-03-2012 /
PIMPINAN
Ketua DPR RI Marzuki Alie mengatakan Pemilihan Umum tahun 2014 yang akan datang harus lebih murah dari sisi biaya, lebih mudah dalam pelaksanaannya, dan lebih berkualitas hasilnya. Untuk itu RUU tentang revisi UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR/DPD/dan DPRD yang saat ini sedang dibahas oleh Panitia Khusus DPR RI, dapat menghasilkan UU yang mendukung untuk tujuan tersebut.
Hal itu dikatakan Ketua DPR saat menjadi pembicara kunci pada acara pembukaan Rapat Kerja Nasional ke XI Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Seluruh Indonesia (Adeksi) yang berlangsung di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan (21/3).
Ketua DPR mengungkapkan masih ada empat masalah krusial yang belum disepakati fraksi-fraksi. Yakni sistem pemilu, ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold), jumlah daerah pemilihan (dapil) dan jumlah kursi dalam satu dapil, serta metode penghitungan suara menjadi kursi.
Marzuki memaparkan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka berdasarkan suara terbanyak yang dipakai pada Pemilu 2009 terbukti kurang efektif, berbiaya mahal, dan banyak menimbulkan masalah. “Pertarungan tidak hanya terjadi pada calon antar partai politik, tetapi sesama kader di internal satu partai politik pun terjadi saling jegal,” ungkap wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat ini. “Kertas suara pun berlembar-lembar yang membingungkan masyarakat pemilih,” tambahnya.
Jangan matikan yang kecil
Terkait keinginan beberapa partai politik untuk menaikkan angka Parliamentary Threshold/PT sampai 5%, Marzuki berpesan agar jangan ada keinginan untuk mematikan partai-partai kecil, karena belum tentu parpol yang besar-besar memiliki kursi di daerah, begitu pun sebaliknya. Dia mengingatkan, dalam Negara Pancasila, yang besar melindungi yang kecil, dan yang kecil menghormati yang besar. “Bukan yang kecil malah dimatikan oleh yang besar,” tandasnya.
Keberadaan partai politik penting bagi kelangsungan demokrasi, sebab partai politik adalah salah satu pilar demokrasi. “Jika partai politik tidak ada maka kita akan kembali ke masa seperti orde baru yang otoriter,” ucap politisi senior Partai Demokrat ini.
Ketua DPR berharap UU pemilu dibuat untuk jangka panjang tidak seperti sekarang yang berubah setiap menjelang Pemilu. “Seharusnya UU pemilu bisa berlaku untuk 3-4 kali pemilu atau 20 tahun, tidak seperti sekarang tiap 5 tahun ganti,” imbuhnya.
Ketua Adeksi Wisnu Wardhana dalam sambutannya mengatakan, system proporsional dengan daftar calon terbuka yang diterapkan pada Pemilu 2009 terbukti menimbulkan banyak masalah yang berakibat pada rendahnya kualitas pemilu. “Mulai dari masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT), kertas suara yang rumit karena memuat 150 sampai 500-an nama calon, cara perhitungan kursi yang sampai 4 tahap, hingga berujung di Mahkamah Konstitusi,” paparnya. “Sengketa pemilu yang masuk di MK mencapai 700 kasus pada Pemilu 2009,” tambahnya.
Wisnu menjelaskan, memilih adalah hak asasi warga Negara yang dilindungi UU dan bersifat universal. Akibat DPT yang bermasalah jutaan warga Negara kehilangan hak suaranya.
“Tim Penyelidikan Hak-hak Sipil dan Politik Komnas HAM melaporkan, dalam Pemilu 2009 terdapat 25-40% pemilih yang tidak masuk dalam daftar pemilih, sementar LP3ES mengungkapkan pada periode Juli-Agustus 2009 terdapat 20,8% pemilih belum terdaftar,” ungkap Ketua DPRD Kota Surabaya ini. Dia berharap RUU pemilu yang sedang dibahas Pansus DPR ini benar-benar dapat menghasilkan UU Pemilu yang berkualitas.
Pada acara pembukaan Rakernas Adeksi ke XI ini turut hadir Gubernur Kalimantan Selatan H. Rudy Ariffin, Ketua DPRD Kota Banjarmasin Rusian, SE., Wakil Walikota Banjarmasin Irwan Ansyari, Ketua DPRD Provinsi Kalimantan Selatan, SKPD Provinsi Kalimantan Selatan, dan utusan dari DPRD Kota se-Indonesia.acara berlangsung hingga 23 Maret 2012. (Rn.Tvp) foto:rn/parle