Saksi Ahli BPK dan MK Sebut DPR Pada Posisi yang Benar
Penjelasan saksi ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam persidangan dinilai mempertegas posisi DPR dalam perkara sengketa kewenangan antar Lembaga Negara antara Presiden, DPR dan BPK mengenai pembelian saham PT. Newmon Nusa Tenggara (NNT).
“Kita sudah sama-sama mendengar pendapat ahli dari BPK, ahli MK yang menyatakan dengan tegas DPR sudah pada posisi yang benar sesuai dengan kewenangannya, ini jelas melegakan kita,” kata Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis usai mengikuti sidang di Gedung MK, Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (4/4/12).
Ia secara khusus juga memberi apresiasi kepada saran saksi ahli dari MK, Anggito Abimanyu yang mengusulkan agar DPR dapat menerima langkah pemerintah membeli saham PT. NNT. Namun menurutnya didukung atau tidak pembelian tersebut sudah memasuki wilayah lain, yang perlu ditegaskan adalah mekanisme yang benar, segala sesuatu terkait BLU yang belum ada ketersediaan pada APBN wajib mendapat persetujuan DPR.
Dalam persidangan Anggito yang juga mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu menyebut setidaknya ada 4 butir perbedaan pendapat diantara pihak yang bersengketa yaitu Pemerintah selaku Pemohon dengan DPR - Termohon 1 dan BPK – Termohon 2.
Perbedaan yang utama adalah DPR menyatakan Pemerintah harus meminta persetujuan DPR dengan merujuk UU no.17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU no.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sementara Pemerintah menyatakan tidak perlu lagi adanya persetujuan DPR merujuk UU no.17/2003 pasal 8 huruf f yang menyatakan pelaksanaan fungsi Bendahara Umum Negara (BUN), UU no.1/2004 pasal 7 ayat 2, pasal 41 ayat 1-2 terkait fungsi BUN, serta PP no.1/2008 tentang landasan hukum operasional Pusat Investasi Pemerintah (PIP).
Guru besar ekonomi dari UGM ini menggarisbawahi pendapat ahli Prof Yusril Ihza Mahendra dalam persidangan sebelumnya yang menekankan apabila alokasi dana investasi belum tersedia, atau telah tersedia namun belum mencukupi maka penyediaan dana itu harus dibahas lebih dulu dengan DPR untuk disepakati bersama dan dituangkan dalam APBN atau APBN Perubahan.
Fakta lain yang diungkapkannya pada persetujuan APBN 2011 adanya alokasi dana investasi (reguler) sebesar Rp.1 triliun dalam RKAKL satuan kerja PIP namun tidak dicantumkan rincian penggunaan untuk dana investasi NNT. Dalam RBA 2011 yang diterbitkan 30 Desember 2010 juga tidak terdapat penjelasan mengenai rincian alokasi dana investasi secara tepat.
“Merujuk pada fakta, dokumen dan data penelitian maka dapat disimpulkan bahwa proses pembelian 7 persen saham NNT oleh Pemerintah cq PIP masih memerlukan persetujuan dari komisi terkait yaitu Komisi XI DPR RI sebagai bagian dari kelengkapan proses persetujuan APBN 2011,” tandas Anggito.
Majelis hakim yang dipimpin Ketua MK, Mahfud MD dalam persidangan tersebut memberi kesempatan kepada DPR untuk menyampaikan keterangan tambahan. Anggota Komisi XI Arif Budimanta dalam paparannya mengingatkan yurisprudensi yang pernah terjadi pada saat Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta persetujuan Komisi XI DPR untuk melakukan pembelian kembali (buy back) saham BUMN yang telah go public melalui PIP. Keputusan rapat pada waktu itu DPR mendukung langkah pemerintah menggunakan dana APBN senilai Rp.4 triliun.
“Berdasarkan yurisprudensi yang pernah dilakukan pada waktu sebelumnya, maka seharusnya Kementrian Keuangan melakukan hal yang sama, yaitu meminta persetujuan DPR dalam penggunaan dana PIP terhadap proses pembelian divestasi saham PT. NNT,” demikian Arif Budimanta.
DPR dalam persidangan tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi III Azis Syamsudin, didampingi anggota komisi terkait bidang keuangan (Komisi XI) dan bidang energi (Komisi VII). Dari kesekjenan terlihat Deputi Bidang Perundang-undangan dan Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal DPR RI.
Sidang sengketa kewenangan antar lembaga negara di Mahkamah Konstitusi ini akan dilanjutkan kembali pada hari Selasa (10/4) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli dari BPK dan Pemerintah. (iky) foto:dok.MK/parle