RUU Pemerintahan Daerah Pertegas Pembagian Wewenang Pemerintahan
Wakil Ketua Pansus RUU Pemda Budiman Sudjatmiko mengatakan, revisi UU Nomor 32 Tahum 2004 tentang Pemerintahan Daerah bertujuan agar urusan pemerintahan semakin jelas antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Selama pelaksanaan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, jelas Budiman, secara empirik masih dirasakan adanya beberapa permasalahan yang dapat mengganggu efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. “Pelaksanaan otonomi daerah masih memerlukan pembenahan dalam penyediaan pelayanan publik, khususnya yang terkait dengan penyediaan pelayanan dasar yang masih belum menunjukkan pencapaian signifikan dari Standar Pelayanan Minimal (SPM)” papar Budiman saat memimpin Kunjungan Kerja di provinsi Bali, guna mendapatkan masukan dari Pemda Provinsi Bali, Pemda Kabupaten Badung, dan Universitas Udayana, Selasa (22/5)..
Fenomena sosial ekonomi empiris menunjukkan bahwa aspek politik yang berkembang sangat dinamis belum berjalan simetris dengan pencapaian aspek kesejahteraan rakyat. Sehingga menurutnya muncul anggapan bahwa otonomi daerah belum mampu memberikan proses pelayanan publik secara maksimal dan sebaliknya justru kadangkala membawa masalah terjadinya in-efisiensi penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal.
Sejak reformasi, kita telah dua kali membentuk Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang telah beberapa kali diubah terakhir melalui lahirnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, maka dilakukan penataan pembagian urusan pemerintahan yang semakin jelas antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Seperti diketahui, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menerapkan konsep urusan secara konkuren (concurrent functions) antara Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Setiap urusan dibagi berdasarkan kriteria tersebut melahirkan urusan yang ditangani oleh pihak pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
Proses pemilihan kepala daerah dari semula menjadi kewenangan DPRD menjadi dipilih langsung oleh rakyat menyebabkan beralihnya pertanggungjawaban kepala daerah pula, yang tadinya kepada DPRD menjadi kepada rakyat. Konsep Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) kepada DPRD menjadi konsep Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepada DPRD. “LKPJ bukan menjadi instrument untuk melakukan politik impeachment, tetapi lebih berfungsi sebagai semacam progress report kepala daerah kepada DPRD dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah,” kata Budiman.
Ada beberapa perubahan yang ditawarkan dalam RUU ini bersifat fundamental, disamping ada pula yang bersifat peraturan lebih lanjut untuk menciptakan kejelasan dan ketegasan khususnya di tatanan pelaksanaan.
Secara subtansi telah teridentifikasi 22 isu starategis yaitu Pembentukan Daerah Otonom, Pembagian Urusan Pemerintahan, Daerah berciri kepulauan, Pemilihan Kepala Daerah, Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, Forum Komunikasi Pimpinan Daerah atau Musyawarah Pimpinan Daerah, Perangkat Daerah, Kecamatan, Aparatur Daerah, Peraturan Daerah, Pembangunan Daerah, Keuangan Daerah, Pelayanan Publik, Partisipasi Masyarakat, Kawasan Perkotaan, Kawasan Khusus, Kerjasama Antar Daerah, Desa, Pembimbingan dan Pengawasan Daerah, Tindakan Hukum terhadap Aparatur Daerah, Inovasi Daerah, dan DPOD.
Budiman menjelaskan, beberapa isu baru yang diatur dalam RUU ini adalah mengenai daerah berciri kepulauan, inovasi daerah, dan tindakan hukum terhadap aparatur daerah. Isu-isu baru tersebut sengaja dibuat pengaturannya mengingat urgensi yang sedang berkembang dalam pengalaman pelaksanaan otonomi daerah selama ini.
Tentang isu baru berupa tindakan hukum bagi aparatur daerah, RUU ini memandang bahwa terjadi fenomena di tataran empiris kesan keengganan pejabat daerah untuk menduduki jabatan sebagai pengelola proyek daerah. Kesan tersebut diwarnai tuduhan pelanggaran pidana untuk hal-hal yang sebenarnya lebih bersifat administratif. Sehingga, dianggap perlu adanya kepastian hukum dalam landasan bertindak bagi pejabat daerah dalam mengelola proyek-proyek pembangunan yang justru kegiatan itu diharapkan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah.
Isu baru lainnya, adalah mengenai inovasi daerah, dan sehubungan ini diperlukan pengaturan secara spefisik diskresi yang diambil pejabat pemerintahan dalam melakukan inovasi pelayanan publik. Hal mendasar dari isu ini, adalah tindakan pejabat publik dimaksud selama tidak menimbulkan kerugian negara, tidak mengandung konflik kepentingan, dan bertujuan memenuhi kepentingan umum.
Beberapa isu crusial dalam RUU ini, yang memerlukan pendalaman pemikiran lebih lanjut, adalah berkenaan antara lain isu pembentukan daerah baru. Apalagi di sini, isu pembentukan daerah baru berkaitan dengan masalah Dana Alokasi Umum (DAU) yang selama ini menempatkan daerah otonom baru sebagai pembagi, dan kalau tidak dikendalikan perkembangannya, maka akan terjadi penurunan DAU bagi daerah-daerah lainnya, yang justru sebagian besar dana dalam APBD-nya sangat tergantung kepada DAU.
“Relasi isu pembentukan daerah otonom baru dan DAU sangat penting untuk dicatat, mengingat proses pemekaran daerah masih berkembang kuat desakannya hingga sekarang ini,” jelasnya.
Khusus untuk isu Pilkada dan Isu Desa, RUU Pemda hanya memuat pengaturan secara umum yang merupakan pengantar, "Pengaturan lebih lanjut secara rinci akan diatur dalam Undang-Undang tentang Pilkada dan Undang-Undang tentang Desa," papar Budiman Sudjatmiko.
Tim Pansus RUU Pemda ke Provinsi Bali, dipimpin Wakil Ketua RUU Pemda Budiman Sudjatmiko (F-PDIP)didampingi sejumlah anggota Pansus lintas fraksi, yakni Abdul Wahab Dalimunthe, Darizal Basir, Subyakto (F-PD), Hardisoesilo (F-PG), Arif Wibowo (F-PDIP), Yan Herizal (F-PKS), Rusli Ridwan (F-PAN), Akhmad Muqowam (F-PPP), Abdul Malik Haramain (F-PKB), dan Miryam S. Haryani (F-Hanura). (as). Foto: Agung/parle