KOMISI II AKAN TERUS PERJUANGKAN NASIB TENAGA HONORER
19-01-2009 /
KOMISI II
Komisi II DPR RI akan terus perjuangkan nasib tenaga honorer yang belum diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), untuk dapat segera diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Tenaga-tenaga tersebut adalah guru bantu yang belum terakomodir, guru swasta, guru honorer sekolah negeri, dan juga tenaga administrasi di sekolah-sekolah.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi II Sayuti Asyathri dari Fraksi Partai Amanat Nasional saat menerima Aliansi Honorer se Indonesia, Senin (19/1) di gedung Nusantara DPR RI.
Seperti disampaikan negosiator Aliansi Honorer Indonesia Joko Surono, mereka datang untuk meminta dewan merevisi PP Nomor 43 tahun 2007 yang sebelumnya merupakan PP Nomor 48 tahun 2005 tentang rekrutmen CPNS honorer. Menurut mereka, PP tersebut banyak yang tidak jelas dan menjadi kabur maknanya.
Selain itu, Aliansi honorer juga menuntut supaya Tim kecil tentang rekrutmen CPNS dapat segera bekerja, dan meminta juga kepada dewan untuk menginstruksikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) mengirim surat kepada Badan Kepegawaian Daerah (BKD) untuk melakukan pendataan ulang.
Sampai saat ini, kata Joko, banyak tenaga honorer yang belum mendapatkan Nomor Induk Tenaga Honorer. Padahal jika mereka tidak terdaftar dalam nomor induk tersebut, tidak akan mungkin diangkat menjadi CPNS.
Atas permohonan tersebut, Sayuti mengatakan tenaga honorer yang belum diangkat masalahnya bukan pada merevisi PP Nomor 43 atau melakukan pendataan ulang., tapi perlu mengetahui terlebih dulu duduk persoalannya.
Sayuti menambahkan, kalau yang terjadi dengan guru bantu dulu memang hanya masalah pendataan yang sudah dibuat oleh Departemen Pendidikan Nasional dan dipindahkan ke Menpan untuk dibuat penelitian ulang terhadap data itu kemudian dilakukan pengangkatan.
Namun yang terjadi dengan tenaga honorer khususnya para guru di luar guru bantu yang sudah lulus tes kompetensi, kendala utama yang dihadapi adalah adanya UU tentang Guru yang membatasi pengangkatan guru.
Selain itu masalah lainnya adalah adanya asumsi kebijakan yang berkembang di pihak otoritas pendidikan bahwa tenaga guru yang ada sekarang (PNS yang ada sekarang) sudah memenuhi jumlahnya.
Secara akal sehat asumsi ini harus kita tolak, karena asumsi tenaga guru yang ada sudah cukup itu sama dengan menafikkan kenyataan bahwa diberbagai sekolah yang ada sekarang masih banyak guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah tersebut yang bukan PNS.
“Asumsi itu telah membuat suatu diskriminasi bahwa yang disebut guru hanyalah mereka yang PNS, dan ini yang harus kita tolak bersama, sebelum kita mengubah PP nya,†kata Sayuti.
Selama asumsi ini ada, maka pihak BKN dan Menpan, tidak akan mengambil langkah seterusnya untuk menindaklanjuti pengangkatan tenaga honorer. Jadi, kata Sayuti, kita harus terlebih dulu meletakkan duduk masalahnya bahwa menganggap jumlah guru di Indonesia sudah cukup sehingga tidak perlu diangkat lagi itu hal yang tidak benar.
Dalam hal ini ada diskriminasi pendekatan terhadap para guru honorer tersebut, seolah-olah mereka yang mengajar di swasta bukan mengajar anak-anak warga negara Indonesia, anak-anak yang tidak diakui berhak mendapatkan pendidikan di negara ini.
Disinilah yang harus diperjuangkan, adanya pengakuan siapapun muridnya yang ikut pendidikan disekolah-sekolah dalam berbagai tingkatan, itu adalah penduduk Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian yang sama, baik yang diajar oleh yang PNS maupun yang bukan PNS.
Supaya tidak terjadi diskriminatif, maka guru yang belum PNS ini harus segera diangkat menjadi PNS. Tentunya, kata Sayuti, tetap harus mengikuti prosedur yang ditentukan termasuk mengikuti tes kompetensi.
Sementara terhadap kasus-kasus mereka yang sudah lama mengajar, tentunya harus ada perlakukan khusus terhadap para guru honorer tersebut, karena para guru tersebut sudah membuktikan dalam waktu yang lama menjadi guru. “Tidak boleh disamakan dengan guru honorer baru yang akan mengisi jabatan tersebut,†ujarnya.
Untuk mengawal supaya tidak ada pengabaian terhadap hak-hak mereka yang sudah lama menjadi tenaga honorer guru, maka DPR akan mendukung untuk mengawal pembuatan data base dimasing-masing daerah.yang dapat mengidentifikasi siapa-siapa tenaga honorer tersebut.
Hal ini dilakukan supaya jangan sampai ketika kebijakan lowongan yang diberikan untuk pengangkatan itu dibuka, tiba-tiba muncul nama lain.
Terhadap Tim kecil yang belum bekerja, menurut Sayuti hal itu tidak perlu dikhawatirkan, karena aspirasi para tenaga honorer akan tetap diperjuangkan.
Dari hasil kunjungan Komisi II ke berbagai negara menunjukkan bahwa jumlah pegawai negeri sipil terbanyak adalah guru. “Kita akan tuntut komposisi PNS di negara ini tenaga guru lebih banyak dari tenaga-tenaga lain,†kata Sayuti.
Sayuti menegaskan, terhadap nasib tenaga-tenaga honorer tersebut sebaiknya jangan diselesaikan ditingkat BKD, tapi diselesaikan di tingkat pusat.
Di akhir kesempatan Sayuti mengajak para tenaga honorer menuju depan gedung MPR/DPR RI untuk bergabung dengan tenaga-tenaga honorer lainnya yang sedang melakukan aksi demo. (tt)