KOMISI II INGATKAN PERLUNYA NETRALITAS PEJABAT YANG MENJADI TIM SUKSES
01-06-2009 /
KOMISI II
Komisi II DPR RI mengingatkan kepada pejabat negara yang menjadi tim sukses masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden agar menjaga netralitas. Hal ini diperlukan agar tim sukses tetap memenuhi ketentuan dalam UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dan tidak ada tugas-tugas negara yang terabaikan.
Demikian disampaikan Ferry Mursyidan Baldan (F-PG) pada rapat kerja dengan Menteri Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet, (Senin 1/6) yang dipimpin Ketua Komisi II E.E. Mangindaan (F-PD).
Ferry mengatakan, netralitas ini perlu disampaikan kepada beberapa pejabat negara yang masuk dalam tim sukses. Untuk itu, kata Ferry, sebaiknya para pejabat itu dikumpulkan untuk bicara bagaimana pengaturannya. Tidak hanya terkait persoalan-persoalan presiden dan wapres, tetapi yang lebih penting melakukan koordinasi termasuk penjadwalan-penjadwalan, pengaturan cuti dan hal lainnya.
Tim sukses ini diharapkan bisa memenuhi norma atau ketentuan dalam UU Pilpres, agar tidak ada tugas-tugas negara yang terlantar. Memang, kata Ferry, tidak ada UU yang melarang pejabat negara menjadi tim sukses, karena diakuinya beberapa posisi politik bisa berasal dari partai politik.
Senada dengan itu, anggota F-PPP Lena Maryana menanyakan bagaimana Mensesneg mengatur jadwal sebagai ketua tim kampanye nasional salah satu pasangan presiden dan wakil presiden.
Hal ini, kata Lena, terkait dengan aturan UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden bahwa pejabat negara tidak boleh mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon. Dan dalam posisi sebagai Mensesneg sekaligus sebagai ketua tim tentunya agak sulit untuk mengatur agar jangan sampai terjadi ketegangan.
Meskipun Lena melihat, ketegangan ini masih bisa ditolerir, jadi tidak terlalu mengganggu. Tapi ke depan, tentunya perlu bagaimana mengatur agar tidak terjadi ketegangan ini.
Pada kesempatan tersebut Lena juga meminta Mensesneg untuk mengatur tupoksi Jubir Presiden. “Tolong tupoksinya ditempatkan kapan dia jadi Ketua Demokrat, kapan dia Anggota Tim Kampanye, dan kapan dia menjadi Jubir Presiden, tolong ini ditertibkan,†kata Lena.
Karena dia melihat akhir-akhir ini statement yang dikeluarkan juru bicara Kepresidenan semakin tidak cerdas dan mengundang kontroversi di masyarakat. Sebaiknya, kata Lena, perlu dipikirkan apakah diistirahatkan sebentar dan dicari jubir yang betul-betul sebagai spoke man.
Menjawab pertanyaan anggota Komisi II mengenai posisinya sebagai Ketua Tim, Mensesneg Hattta Rajasa menegaskan bahwa dia akan tetap patuh kepada UU, Peraturan Pemerintah dan Peraturan-peraturan KPU.
Sebagai ketua tim, kata Hatta, dia tidak akan melalaikan, meninggalkan, apalagi menomorduakan tugas-tugasnya sebagai Mensesneg. Itu sebuah komitmen yang tidak mungkin saya langgar,†janji Hatta.
Setujui Pesawat Kepresidenan
Menyinggung masalah pengadaan pesawat Kepresidenan yang telah diajukan beberapa saat yang lalu, anggota F-PG Mustokoweni Murdi dan Lena Maryana mendukung diadakannya pesawat Kepresidenan.
Memang, kata Lena, sebelumnya dia melihat pengadaan pesawat ini bukan sesuatu yang prioritas. Namun belakangan terjadi kekhawatiran dengan banyaknya kecelakaan pesawat militer.
Hal ini juga pernah dialami ketika pesawat yang membawa Wakil Presiden harus turun kembali karena salah satu komponennya retak.
Tentunya, hal ini bisa dijadikan momen dan secara mendalam perlu dikaji kembali perlu tidaknya pesawat kepresidenan. Pengadaan ini memang tidak harus dimasukkan pada anggaran tahun ini, tapi tentunya harus segera diambil keputusan.
Menanggapi hal itu, Hatta Rajasa mengatakan, pengadaan pesawat Kepresidenan itu cukup lama dibahas, sejak ia masih menjadi Menteri Perhubungan. Bahkan waktu itu sudah hampir terealisasi.
Namun sayangnya saat itu timbul gejolak di masyarakat karena dalam kondisi keuangan negara yang serba sulit rasanya belum layak membeli pesawat Kepresidenan. Melihat kondisi yang ada, memang memprihatinkan, perlu dicarikan cara bagaimana mengatasinya,†kata Hatta.
Di dalam anggaran Sekretariat Negara ada anggaran untuk sewa pesawat. Pihaknya telah melakukan penjajakan awal melalui Garuda atau pun melalui beberapa Airlines yang memiliki akses untuk membeli pesawat baru.
Ada baiknya untuk menghemat biaya, dana charter itu bisa dijadikan uang muka apabila sudah ada kesepakatan bersama akan pentingnya memiliki pesawat Kepresidenan.
Namun, kata Hatta, dengan memiliki pesawat Kepresidenan ini juga tidak sesederhana yang dibayangkan. Karena memiliki konsekwensi maintenancenya, pilotnya, hanggarnya dan harus dikelola secara baik. Pengelolaan ini bisa melalui Garuda, TNI, Angkatan Udara atau yang sudah memiliki fasilitas-fasilitas seperti itu.
Oleh sebab itu, tambahnya, pihaknya mengusulkan diberi kesempatan untuk menuntaskan hal ini, dan tidak perlu menambah anggaran daripada yang sudah diajukan, karena Sekneg sudah memiliki anggaran untuk charter pesawat yang bisa digunakan sebagai uang muka atau semacam sewa beli, dimana uang dibayarkan sebagai cicilannya, nanti pesawatnya menjadi milik Kepresidenan. (tt)