Panja RUU Pertanahan Terima Masukan Pakar Agraria
Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan menerima masukan dari berbagai pakar agraria terhadap draft RUU dan naskah akdemis RUU Pertanahan yang saat ini sedang disusun olek Komisi II DPR.
Menurut Guru Besar Hukum Agraria dan Sosiologi Hukum Fakultas Hukum UGM Prof. Nurhasan Ismail, ruang lingkup yang ingin diatur dalam RUU sudah cukup komprehensif karena disamping berisi pengaturan tentang aspek yang bersifat umum juga sudah memasukan bidang-bidang hukum pertanahan yaitu penatagunaan tanah, pendaftaran tanah, pengurusan hak atas tanah, dan penyelesaian sengketa-sengketa pertanahan.
“Namun demikian, ada beberapa catatan umum yang perlu mendapat perhatian, diantarannya, suatu UU seharusnya lebih menekankan pada ketentuan yang prinsip-prinsip saja,”kata Nurhasan saat RDP dengan Panja RUU Pertanahan Komisi II DPR, di Jakarta, Senin (25/6).
Ia menambahkan, RUU pertanahan ini tampaknya belum mencerminkan prinsip hukum pertanahan namun sebaliknya justru sudah mengandung ketentuan yang bersifat tekhnis yang seharusnya menjadi materi muatan peraturan pemerintah atau peraturan Presiden.
Selain itu, dalam masukannya, Nurhasan menjelaskan, UU Pertanahan yang dibangun di era reformasi seharusnya disamping menjabarkan UUD 1945 amandemen juga menjabarkan asas-asas hukum yang sudah ditentukam dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. “Namun RUU ini tampaknya belum secara akomodatif menjabarkan amanah UUD 1945 amandemen yang terkait dengan pertanahan,”tegasnya.
Selanjutnya, kata Nurhasan, ada sedikit penurunan semangat dari RUU untuk merespon dan mengakomodasi tuntutan reformasi dibidang pertanahan termasuk yang sudah dirumuskan dalam TAP MPR No.IX/MPR/2001 seperti reforma agrarian dan hak ulayat sebagai langkah kongkret untuk mengurangi atau bahkan meredam konflik pertanahan yang bersifat structural.
“Sebaliknya RUU ini tampaknya belum bisa melepaskan diri dari ikatan emosional dengan politik pemati-surian reforma agraria dan hak ulayat masyarakat hukum adat yang nyata-nyata masih ada,”jelasnya
Dalam masukan lainnya, Nurhasan menerangkan, terkait upaya penyelesaian konflik pertanahan dengan membentuk Peradilan Pertanahan sekalipun, tidak akan pernah mampu mengakhiri konflik structural pertanahan, jika persoalan diwilayah hulunya yaitu kesenjangan penguasaan dan pemanfaatan tanah tidak pernah ditangani secara sistematis.
“Kebijakan yang paling ampuh secara preventif mencagah konflik struktural adalah mengaktifkan kembali penyelenggaraan landreform dengan penyesuaian tertentu,”paparnya.
Dalam kesempatan ini, Panja RUU Pertanahan juga menerima masukan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), melalui Deputi Sekjen KPA Bidang Kajian dan Kampanye Iwan Nurdin. Ia menjelaskan sedikitnya terdapat tiga kelompok besar yang tengah ‘bertarung’ dalam menginterpretasi UUPA 1960, yang pertama, adalah kelompok pro-dasar yang diwakili oleh pihak Bank Dunia (LMPDP) dan ADB (TA). Kelompok ini mendorong pengahapusan UUPA 1960 dari muka bumi Indonesia, karena ia dipandang sebagai penghalang utma bagi terciptanya pasar tanah (land market) di Indonesia.
“Kelompok kedia adalah, kelompok yang gigih mempertahankan UUPA sebagaimana adanya dan sebagaimana dia ditetapkan sejak tahun 1960. Motto kelompok ini, adalah laksanakan UUPA 1960 secara murni dan konsekwen,”jelas Iwan dihadapan.
Selanjutnya, tambahnya, kelompok ketiga, perlu dilakukan sejumlah amandemen pada UUPA dengan mempertahankan nilai dan spirit UUPA, “Kelompok ketiga memandang UUPA tetap dapat dijadikan sebagai panduan bagi peletakan dasar-dasar penyusunan hukum agrarian nasional, UUPA (yang diperbarui) ini, diyakini dapat menjadi alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagian dan keadilan dan rakyat,”terangnya.
Memperhatikan draft dan naskah akademis RUU Pertanahan, Iwan memberikan catatan poko mengenai RUU Pertanahan, yaitu, RUU yang sedang dibahas sebenarnya lebih tepat disebut RUU Hak Atas Tanah, RUU ini tidak menjawab kemelut rimba hukum di bidang pertanahan yang seharusnya disederhanakan dan terkoordinir dengan tujuan UUPA, RUU ini mendorong pendaftaran tanah, pengakuan hak tanpa dilandasi semangat reforma agrarian, perlu perombakan total, dan RUU Reforma Agraria lebih penting.(nt) foto:wy/parle