Komisi XI Sepakat Tangguhkan PMN Tunai ke Badan Bank Tanah
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie saat memimpin RDP Komisi XI DPR RI dengan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan RI dan Kepala Badan Bank Tanah. Foto: Munchen/nr
Komisi XI DPR RI sepakat menangguhkan Penyertaan Modal Negara (PMN) Tunai kepada Badan Bank Tanah. Keputusan ini secara resmi disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Dolfie, saat memimpin Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XI DPR RI dengan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan RI dan Kepala Badan Bank Tanah, Rabu (9/11/2022).
“Dari seluruh fraksi mayoritas menunda. Jadi, kita akan menunda sampai landasan hukumnya clear, solid dan jelas gitu ya kesimpulan kita pada hari ini. Biar nggak panjang-panjang. Jadi kita sepakat ya. Sepakat?” tanya Dolfie di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta.
“Sepakat,” jawab para Anggota Komisi XI DPR RI dalam RDP tersebut.
Sebelumnya, enam fraksi yang hadir menyatakan bahwa pemberian PMN kepada Badan Bank Tanah sebaiknya ditunda dan dikaji ulang lantaran belum adanya landasan konstitusi yang kokoh terkait dengan organisasi tersebut. Badan Bank Tanah merupakan badan khusus yang mengelola tanah serta berfungsi untuk melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pendistribusian tanah. Badan ini dibentuk atas amanat Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020.
UU Cipta Kerja sendiri telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 91/PUU-XIX/2021. Dengan adanya putusan tersebut, maka segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas akan ditangguhkan.
Pada RDP tersebut Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan RI mengajukan persetujuan PMN tunai kepada Badan Bank Tanah sebesar Rp500 miliar. Jumlah ini rencananya akan digunakan untuk kegiatan pengelolaan dan pematangan sebesar Rp415 miliar dan pengembangan tanah Rp84 miliar.
“PMN yang akan diberikan kepada Bank Tanah hari ini kalau kita dudukkan permasalahannya di dalam landasan hukumnya itu seperti apa, menurut pemerintah? Apakah ini bisa kita lanjutkan? Apakah ini bagian dari kebijakan yang bersifat strategis atau tidak? Apabila ini bersifat strategis, MK mengamanatkan menangguhkan (tiap keputusan strategis). Kalau tidak strategis, kenapa pula perlu uang Rp500 miliar?” tanya politisi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia tersebut saat membuka rapat.
Dalam pendalaman materi di RDP tersebut, Heri Gunawan selaku perwakilan Fraksi Partai Gerindra meminta pemberian PMN kepada Badan Bank Tanah ditunda hingga adanya putusan hukum yang jelas. Legislator daerah pemilihan Jawa Barat IV itu mengingatkan adanya rantai keterkaitan antara UU Cipta Kerja dengan Bank Tanah yang penyelenggaraannya membutuhkan kucuran dana PMN.
Menurut Heri, dasar penyusunan Bank Tanah ini dari Undang-undang Cipta Kerja. Di sisi lain, Undang-undang Cipta Kerja tersebut masih menjadi polemik karena adanya keputusan MK. Sehingga, menurutnya, dari dasar Undang-undang Cipta Kerja berdampak ke Bank Tanah, lalu ke struktur penyelenggaraan Bank Tanah, hingga ke PMN.
“Kalau salah satu bagian in terputus, kami dari Fraksi Partai Gerindra nampaknya mungkin meminta ini (pengajuan PMN) untuk di-hold dulu sampai keputusan secara hukumnya jelas. Jangan sampai sebuah yang keputusan hukumnya belum jelas, kita bahas disini apalagi ini terkait Penyertaan Modal Negara,” papar politisi yang akrab disapa Hergun tersebut.
Hal yang serupa juga diutarakan oleh anggota Komisi XI DPR RI lainnya, yaitu Ela Siti Nuryamah. Menurut Politisi PKB itu, ditangguhkan atau tidaknya PMN bagi Badan Bank Tanah tergantung kejelasan hukum yang sudah diputuskan oleh MK. Anggota dewan dapil Lampung II itu juga meminta penjelasan terkait dana Rp1 triliun yang sebelumnya telah diserahkan kepada badan tersebut sebagai modal awal, serta penjelasan tugas, fungsi, dan rencana Bank Tanah dalam lima tahun ke depan.
“Mungkin (tunggu) dulu agar status hukumnya, pemerintah proaktif pasca putusan MK. Kalau memang ini clear dan clean berarti bisa berlanjut. Tetapi kalau memang belum, coba itu diurai dulu penataan status hukum,” ujar politisi yang juga Anggota Badan Legislasi DPR RI itu dalam rapat.
Adapun terkait dengan UU Cipta Kerja, MK memberikan waktu kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan dibacakan pada November 2021 lalu. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dapat terpenuhi, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali. (uc/rdn)