Asosiasi Kepala Desa Jatim Tolak Larangan Kades Jadi Pengurus Parpol
Asosiasi Kepala Desa (AKD) se Jawa Timur menolak rumusan pasal 25 RUU Desa yang melarang kades menjadi pengurus partai politik atau pengurus parpol lokal. Pasalnya rumusan itu bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD 45, bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Hal itu ditegaskan Ketua AKD Jatim Hasamari saat dengar pendapat umum dengan Komisi II DPR Rabu (10/10).
Dalam acara yang dipimpin Ketua Pansus RUU Desa Ahmad Muqowam dari FPPP, Hasamari lebih lanjut mengatakan, jika larangan itu diterapkan maka terjadi diskriminasi sebab kepala desa, bupati/walikota dan gubernur serta presiden sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu banyak calon bupati/walikota dan gubernur setelah menjabat menjadi pengurus partai.
AKD Jatim juga menolak rumusan RUU soal penghasilan tetap kepala desa minimal sama dengan Upah Minimal Regional (UMR) kabupaten/kota. Dalam rumusan RUU disebutkan penghasilan kades dan perangkat kades paling sedikit sama dengan UMR reginal kabupaten/kota.
Alasan AKD jatim, kata Hasamari, kades dan perangkatnya adalah bagian dari pemerintahan bukan karyawan/buruh. Bila berpedoman pada UMR regional maka penghasilan tetap kades dibawah penghasilan tetap sekretaris desa pegawai negeri sipil. Dengan berpedoman pada penghasilan tetap sekdes PNS, akan mengurangi kecemburuan sehingga dapat terciptanya kedusifitas kerja.
Usulan yang disampaikan AKD Jatim adalah penghasilan tetap kades dan perangkat desa sebagaimana ketentuan pasal 37 ayat (1) RUU desa sebesar, kades 125% dari penghasilan tetap sekdes PNS dan perangkat desa lainnya sebesar 75% dari penghasilan tetap Sekdes PNS.
Mengenai masa jabatan kades selama 6 tahun, AKD Jatim berpendapat perlu ditambah menjadi 8 tahun. Alasanya, kata Hasamari, dampak sosial pilkades akan sangat berpengaruh sekali dalam pelaksanaan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta penyelesaiannya memerlukan waktu yang lama. Disamping itu, penyelesaian dampak sosial belum selesai, kades sudah dihadapkan untuk mensukseskan program pemerintah yakni pemilu legislative, pemilu bupati/walikota, Gubernur dan Presiden.
Di kesempatan yang sama, menurut Ketua Forum Walinagari (Forwana) se-Sumatera Barat Anwar Maksum, kelemahan mendasar dalam RUU Desa versi pemerintah ini adalah sengaja dihilangkannya klausul pemerintahan desa, yang dengan ini berarti bahwa Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) bukan lagi penyelenggara Pemerintahan Desa bersama dengan Kepala Desa dan memposisikan Kepala Desa sebagai penguasa tunggal di desa.
“RUU ini memposisikan BPD hanya sebagai lembaga kemasyarakatan yang hanya berfungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, dan BPD juga hanya sekedar memberikan saran, pendapat dan masukan dalam penyusunan regulasi,”kata Anwar.
Kondisi ini, jelas Anwar, sangat berbahaya bagi perkembangan demokrasi ditingkat desa, gambaran RUU ini seakan mengembalikan semangat UU No.5 Tahun 1979 yang sentralistik dan tidak demokratis.
Ia menambahkan, beberapa kesalahan mendasar dengan hilangnya klausul Pemerintahan Desa dalam RUU ini adalah, matinya demokrasi di tingkat desa, karena inti dari demokratisasi adalah adanya pembagian kewenangan dan kekuasaan ditingkat lembaga pemerintahan.
“Dengan diamputasinya status BPD sebagai penyelenggara Pemerintahan Desa bersama Kepala Desa mengakibatkan kekuasaan dan kewenangan Kepala Desa menjadi sangat besar,”jelas Anwar.
Selanjutnya, ungkapnya, hilangnya hak-hak masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang diartikulasikan dan diagregasikan oleh BPD sebagai penyelenggara pemerintahan bersama Kepala Desa.
Kesalahan mendasar lainnya, tambah Anwar, akan terjadinya isntabilitas di tingkat desa dengan muncul kelompok-kelompok oposisi liar dikalangan muda terpelajar desa.
“Sehubungan dengan itu, Forwana Sumbar merekomendasikan untuk tetap mempertahankan BPD sebagai penyelenggara Pemerintahan Desa bersama Kepala Desa, UU tentang Desa yang akan ditetapkan hendaknya juga menjamin desa sebagai entitas yang otonom sebagai local self government,”terangnya.
Dalam kesempatan ini, Forwana se-Sumatera Barat juga menjelaskan mengenai pengaturan pendapatan desa dalam RUU tentang Desa ini yang terlihat bahwa RUU hanya mengatur secara umum saja dan belum mengatur dengan jelas dan pasti tentang Pendapatan Desa.
“Untuk selanjutnya, kami mengharapkan untuk dapat diatur lebih tegas melalui Peraturan Pemerintah dalam hal kab/kota wajib memberikan minimal 10 persen dari hasil pajak dan retribusi daerah kepada desa, dan pemerintah mengalokasikan dana kepada desa sebagai pendapatan desa minimal 10 persen dari Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diterima kab/kota melalui APBD kab/kota,”kata Anwar.
Lebih lanjut ia menegaskan, bahwa pengalokasian anggaran pemerintah kepada desa biasanya hanya menghitung jumlah desa per kab/kota, hal ini bagi Sumatera Barat sangat merugikan, karena jumlah Nagari yang sedikit.
“Untuk itu dalam hal ini Forwana Sumbar merekomendasikan dua alternative yakni mengenai penyertaan Jorong di Sumatera Barat dengan Desa diluar Sumatera Barat dalam hal pengalokasian anggaran dan program pembangunan, serta pengalokasian anggaran dan kegiatan pembangunan secara proporsional dengan mempertimbangkan aspek luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin dan lain sebagainya,”tandasnya.(mp/nt)foto:wy/parle