Kementerian PDT Minim Prestasi
Komisi V DPR RI belum menerima hasil evaluasi terhadap program-program yang dilaksanakan oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), sehingga belum dapat menyimpulkan berhasil tidaknya kinerja Kementerian yang dipimpin Helmy Faishal Zaini.
Kementerian PDT harus setiap tahun melakukan evaluasi, sehingga setiap kegiatan bisa terukur tingkat keevektifannya. Tingkat evektif tersebut bisa diukur dari persentase terjadinya penurunan aspek-aspek yang memberikan kontribusi daerah tertinggal itu.
“Harus ada evaluasi terhadap kinerja Kementerian PDT,” tegas Wakil Ketua Komisi V Mulyadi, setelah RDP dengan Sekretaris Kementerian PDT, di gedung Nusantara DPR, Jakarta. Rabu (5/12).
Politisi Partai Demokrat ini mengungkapkan kekhawatirannya, ada bantuan-bantuan tertentu yang mengeluarkan biaya terkesan tidak memberikan kontribusi penurunan terkait dengan parameter penyebab tertinggalnya suatu daerah. “Evaluasi ini menyangkut masing-masing parameter yang menyebabkan tertinggal dan tidak tertinggal, dikaitkan dengan bantuan-bantuan dan biaya yang disampaikan ,” ungkap Mulyadi.
Dalam RDP tersebut Seskemen PDT Nurdin menyampaikan usulan tambahan anggaran Kementerian (PDT) sebesar Rp.680 Miliar yang dibahas oleh Menteri Keuangan dengan Badan Anggaran DPR RI, tugas komisi adalah membahas danmenanggapi usulan pemerintah terkait dengan penggunaan usulan tambahan anggaran tersebut.
Komisi V perlu melihat dan mengetahui, program yang diusulkan tersebut betul-betul sudah menyentuh kebutuhan mendesak dari kebutuhan masyarakat yang ada di kabupaten tertinggal.
Mulyadi menambahkan Kementerian PDT harus membuat program yang lebih fokus, jangan terlalu banyak menu program. Dia melihat menu kegiatan Kementerian PDT begitu banyak dan bervariasi sehingga sulit melakukan kontrol dan pengendalian. “Kami sudah 3 tahun di DPR sulit memahami dan sulit mengetahui dan hafal apa saja kegiatan-kegiatan yang ada di Kementerian PDT,”imbuhnya.
Dia menyarankan penyederhanakan menu kegiatan, sehingga fokus dan rentan kendali pengawasannya lebih mudah. Menurut Mulyadi, kalau seperti ini masih sulit sekali, ditambah banyaknya program bansos dari pemerintah.
Bansos tidak tercatat dan bukan belanja modal, kalau belanja modal akan dicatatkan sebagai aset. Kalau bansos begitu diserahkan sudah hilang. Ini yang menurutnya sering dianggap rawan karena kalau gak sampai gimana. Ini dapat dianggap sebuah korupsi, jika Kementerian PDT tidak mampu mengawasi dan mengontrol yang harus dilakukan dan menjadi tanggungjawabnya. “Harus menjadi satu kesatuan tanggung jawab sampai kepada masyarakat penerima yang dimaksud,” jelas Mulyadi.
Kalau Kementerian PDT ingin melakukan pengentasan dari suatu daerah tertinggal menjadi tidak tertinggal, memang harus fokus kepada parameter yang memberikan kontribusi paling besar penyebab sebuah daerah tertinggal. “Ada kesan tidak fokus sehingga sulit diukur secara empiris bagaimana kita mengukurnya apakah program kementerian PDT ini berhasil atau tidak,” ungkap Mulyadi. (as) foto:wy/parle