Keluarga Korban Dugaan Malpraktek Sambangi DPR
Keluarga korban kasus dugaan malpraktek Rumah Sakit Ibu dan Anak Dedari Kupang menyambangi Komisi IX DPR RI, Selasa (15/1) untuk mengadukan tindakan tidak wajar yang dilakukan pihak dokter terhadap anak balitanya Eliza Dethan (ED).
"Anak saya diberikan transfusi darah melalui metode injeksi, sebesar 50 cc secara cepat. Tidak lama setelahnya mata anak saya terbalik dan akhirnya meninggal dunia pada 13 Februari 2012," kata Jonson, orangtua ED, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.
Ayah kandung ED (balita berusia 10 bulan yang meninggal dunia karena dugaan malpraktek) yakni Jonson Dethan mengatakan anaknya diberikan transfusi darah oleh dokter RS Dedari Kupang melalui metode injeksi dan menyebabkan anaknya sekarat kemudian meninggal dunia.
Jonson menjelaskan kejadian berawal saat anaknya sakit pada tanggal 7 Februari 2012 dan dibawa ke dokter dekat rumah pada tanggal 8 Februari 2012. "Pada saat dibawa ke dokter tanggal 8 Februari 2012 anak kami dikatakan menderita pilek, lalu diberikan obat racikan sendiri oleh dokter. Tapi setelah diberi obat tidak sembuh, anak kami justru muntah-muntah dan keluar darah dari dubur sehingga kami adukan ke dokter bersangkutan, dan dinyatakan disentri sehingga harus dibawa ke rumah sakit," kata Jonson. Jonson mengatakan saat itu anaknya dirujuk ke RS Mamami Kupang untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
Namun setelah dirawat empat hari di RS Mamami kondisi ED tidak kunjung membaik, sehingga Jonson dan isterinya Marylinn yang merupakan warga negara Kanada mendesak dokter RS Mamami untuk melakukan USG terhadap ED. "Waktu itu pihak RS Mamami merujuk ke RS Umum Kupang untuk melakukan USG, dan ternyata anak saya dinyatakan mengalami infaginasi atau ususnya masuk ke dalam usus yang lain. Dokter menyebutkan bahwa penyakit disentri lah yang telah menyebabkan anak saya mengalami infaginasi," ujar Jonson. Jonson menjelaskan pada akhirnya pihak RS Mamami merujuk kembali ED ke RS Ibu dan Anak Dedari Kupang untuk mendapat perawatan lebih lanjut.
Di RS Dedari, ED menjalani pemeriksaan darah dan dinyatakan memiliki golongan darah B, padahal menurut Jonson, pemeriksaan yang dilakukan PMI sebelumnya menyatakan darah ED adalah O. "Kami ikuti saran rumah sakit, karena kami tidak tahu apa-apa soal darah, dan kemudian dilakukan lah operasi dan dinyatakan darah HB anak kami turun sehingga harus dilakukan trasnfusi. Pada saat transfusi itu lah anak kami diinjeksi sedemikian rupa dan setelah lima menit kemudian mengalami kejang serta matanya terbalik lalu meninggal dunia pada 13 Februari 2012," kata Jonson.
Jonson mengungkapkan bahwa pascakejadian ada pihak dokter yang menemuinya dan meminta kejadian itu tidak dilaporkan ke media dan polisi. Dan beberapa hari kemudian, Jonson mendapat panggilan dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) NTT yang mengabarkan akan dilakukan sidang kode etik kepada dokter bersangkutan. "Saya tidak pernah melapor ke IDI NTT, tapi mereka tiba-tiba mengabarkan mau melakukan sidang kode etik ke dokter bersangkutan. Dan ternyata hasilnya dokter tidak bersalah," kata Jonson. Jonson mengharapkan sebuah keadilan dalam kasus tersebut agar kejadian serupa tidak terjadi pada anak bangsa yang lain. Sementara itu Isteri Jonson yakni Marylinn yang ikut mendampingi suaminya ke Komisi IX DPR RI, sempat terlihat menitikkan air mata.
Dia mengatakan bahwa dirinya dan suami tidak semata-mata berjuang demi hak-hak anak balitanya yang telah meninggal dunia, namun demi anak-anak lain di Indonesia agar tidak mengalami kejadian serupa. Marylinn membenarkan ada seorang dokter yang menawari keluarganya uang "tutup mulut" pasca kematian ED. Namun dia dan suami mengabaikan tawaran tersebut.
"Saya katakan ke dokter tersebut, uang 990 triliun dolar pun tidak akan bisa mengganti nyawa anak saya. Saya 14 tahun di Indonesia dan saya cinta negara ini, sehingga saya hanya berharap kejadian ini tidak menimpa anak-anak lain di negara ini," kata Marylinn.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nova Riyanti Yusuf mengatakan dirinya bersama anggota Komisi IX akan mengawal kasus ini. Dia mendesak Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia dan Konsil Kedokteran Indonesia untuk segera menuntaskan kasus ini dari sisi kode etik maupun disiplin kedokteran.
"Harus jelas siapa yang salah dalam kasus ini. Memang bukan kewenangan Komisi IX dalam menentukan apakah ini malpraktek atau bukan, namun harus dipahami bersama bahwa masyarakat saat ini sudah cerdas, sehingga dunia media harus menyikapi tuntutan masyarakat yang semakin meningkat," kata Nova.
Anggota DPR dari Fraksi Demokrat itu mengatakan saat ini masyarakat masih kebingungan dalam mengadukan kejadian malpraktik. Seluruh pihak terkait menurut dia harus mensosialisasikan prosedur pengaduan tindakan malpraktek kepada masyarakat.
Direktur Utama RS Ibu dan Anak Dedari Kupang Husein mengatakan pihaknya telah melakukan segalanya sesuai standar yang berlaku di RS. Menurut dia tranfusi darah melalui metode injeksi sudah biasa dan boleh dilakukan.
Menurut Husein saat ini kasus dugaan malpraktek terhadap ED yang dituduhkan ke rumah sakitnya masih menjalani proses baik secara hukum di kepolisian, maupun secara kode etik dan disiplin melalui Konsul Kedokteran Indonesia (KKI).
Dalam rapat dengar pendapat tersebut turut hadir keluarga korban malpraktek lain yakni keluarga dari Raihan (10 tahun) yang mengalami cacat permanen akibat perlakuan yang diduga juga merupakan malpraktek yang dilakukan RS Medika Permata Hijau.
Komisi IX DPR RI juga turut mengundang Dirjen BUK Kemenkes, IDI, KKI, serta sejumlah Direktur Utama Rumah Sakit yang diduga melakukan tindakan malpraktek. (sc)foto:wy/parle