Surat Keterangan Kades Diusulkan Jadi Pengganti Akta Kematian untuk Minimalisasi Pemilih Hantu
Anggota Komisi II DPR RI Kamran Muchtar, saat mengikuti Rapat Kerja Komisi II terkait Evaluasi Pemilu 2024 di Gedung Nusantara, Rabu (15/5/2024). Foto: Mentari/vel
PARLEMENTARIA, Jakarta - Fenomena ‘Pemilih Hantu’ di tiap kali gelaran Pemilu maupun Pilkada kerap menjadi sorotan. Untuk meminimalisasi hal tersebut, Anggota Komisi II DPR RI Kamran Muchtar mendorong adanya regulasi yang memungkinkan Surat Keterangan Kepala Desa dapat digunakan sebagai pengganti Akta Kematian, sehingga bisa menjadi dasar perubahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) bagi pemilih yang sudah meninggal dunia.
Terminologi ‘pemilih hantu’ kerap digunakan untuk penggunaan surat suara oleh pemilih yang sudah meninggal atau tidak diketahui keberadaannya. Namun, Pemilih yang sudah meninggal atau tidak diketahui keberadaannya tersebut tetap terdata di dalam DPT.
“Aturan apa sebenarnya yang membuat supaya (Pemilih Hantu) ini tidak terjadi? Misalnya mungkin di PKPU harus lebih dipertajam (kalau) keterangan kepala desa itu boleh (digunakan). Karena tidak semua desa yang pada saat (ada warganya yang) meninggal kemudian pemerintahnya menyerahkan Akta Kematian. Tidak semua. Apalagi desa-desa yang terpencil, dengan akselerasi yang lambat tidak mungkin mengejar tahapan penyelenggaraan Pemilu,” kata Politisi Fraksi Partai NasDem itu saat Rapat Kerja Komisi II terkait Evaluasi Pemilu 2024 pada Rabu (15/5/2024) di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta.
“Usulannya agar KPU dan Bawaslu bersama pemerintah membuat kebijakan bersama agar Kepala Desa dapat menindaklanjuti saran perbaikan Bawaslu atau hasil Coklit KPU dalam hal ditemukan data penduduk yang meninggal atau tidak diketahui keberadaannya”
Pada rapat tersebut pula, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengungkapkan pada Pilkada tahun 2020 terjadi pemungutan suara ulang di sebuah TPS. Hal itu lantaran kedapatan adanya penggunaan hak suara dari orang yang sudah meninggal.
Ia juga menjelaskan salah satu permasalahan pada saat penyelenggaraan pemilu 2024 lalu adalah ditemukannya data pemilih yang sudah meninggal namun tidak bisa dihapus lantaran tidak ada dokumen otentik berupa Akta Kematian.
“Banyak data yang meninggal dan tidak diketahui keberadaannya (tapi) tidak dihapus dari DPT karena tidak ada dokumen otentik, dan dokumen (yang) otentik dikeluarkan hanya oleh pemerintah. Usulannya agar KPU dan Bawaslu bersama pemerintah membuat kebijakan bersama agar Kepala Desa dapat menindaklanjuti saran perbaikan Bawaslu atau hasil Coklit KPU dalam hal ditemukan data penduduk yang meninggal atau tidak diketahui keberadaannya. Sehingga data pemilih yang dihasilkan akurat secara de facto atau de jure,” tutur Rahmat.
Menanggapi usul dan permasalahan yang dikemukakan oleh dari Ketua Bawaslu, Ketua Komisi II DPR RI Doli Ahmad Tanjung mengatakan hal tersebut dapat terjadi lantaran lemahnya kesadaran masyarakat untuk taat administrasi. Menurutnya, masih banyak orang yang tidak tahu atau bahkan abai terhadap tata administrasi kependudukan. Sehingga, permasalahan data kependudukan ini juga harus menjadi catatan bagi jaringan Kementerian Dalam Negeri, termasuk untuk membangun kesadaran tertib administrasi di masyarakat. (uc)