Penanganan Hukum Bagi Pelaku Pelecehan Seksual Penyandang Disabilitas Harus Dilaksanakan Transparan

06-12-2024 / KOMISI VIII
Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina. Foto : Mu/Andri

PARLEMENTARIA, Jakarta - Kasus dugaan pelecehan seksual oleh penyandang disabilitas yang mencuat beberapa waktu silam menyita perhatian banyak pihak. Kasus ini menyeret nama I Wayan Agus Suartama (IWAS), pria disabilitas asal Kota Mataram, NTB yang diduga melibatkan 13 korban.

 

Anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina berharap proses hukum dapat dilakukan secara transparan dan akuntabel. Ia juga mendorong penegak hukum menggunakan pendekatan inklusif dalam kasus yang melibatkan penyandang disabilitas.

 

“Aparat hukum harus bekerja sama dengan ahli disabilitas dan organisasi masyarakat sipil untuk memastikan bahwa semua aspek terkait kondisi tersangka, termasuk hak-haknya, agar dapat diperhitungkan,” sebut Politisi Fraksi PDI-Perjuangan tersebut dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Jumat (6/12/2024).

 

Anggota Komisi di DPR yang memiliki lingkup tugas di bidang agama, sosial, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak tersebut menyatakan bahwa upaya penegakan hukum dan rehabilitasi harus didukung demi mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual. Selain itu, kata Selly, untuk menjamin ketidak berulangan kekerasan seksual yang mana kedua hal tersebut menjadi amanat dari Pasal 3 huruf d dan e UU TPKS.

 

“Poin C menjelaskan tentang merehabilitasi secara menyeluruh agar poin d dan e bisa terwujud ke depannya. Artinya penegakan hukum dan rehabilitasi bagi pelaku harus dilakukan demi mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual dan kasus kekerasan seksual tidak terulang kembali,” papar Legislator dari dapil Jawa Barat VIII.

 

Menurut Selly, kasus kekerasan seksual bisa dilakukan oleh siapapun dan menimpa siapa saja. Maka diperlukan penanganan terukur sesuai aturan dan mekanisme yang berlaku.

 

"Penegakan hukum harus dilakukan seadil-adilnya dan dilakukan dengan transparan serta komprehensif sehingga kita tahu kebenaran yang sebenarnya terjadi. Ini demi memastikan hak-hak korban dan tersangka sama-sama terlindungi," tegas Selly

 

Di sisi lain, Selly juga meminta pihak penegak hukum dan instansi terkait memberikan pendampingan psikologis bagi para korban. Hal ini untuk mempercepat penyembuhan trauma yang ada pada korban kekerasan seksual.

 

“Rehabilitasi juga harus diberikan untuk para korban. Korban harus mendapatkan akses penuh terhadap pendampingan psikologis dan bantuan hukum selama proses penyidikan dan pengadilan berlangsung,” terang Selly.

 

Tak hanya itu, Selly pun meminta pihak berwenang untuk memastikan keamanan dan perlindungan privasi bagi para korban. Termasuk, kata Selly, keamanan identitas korban yang harus dilindungi.

 

“Ini untuk mencegah reviktimisasi dan menjaga privasi korban selama proses hukum. Bukti-bukti yang mendukung keterangan korban, termasuk hasil visum dan pemeriksaan psikologi juga harus digunakan secara hati-hati untuk memastikan bahwa hak-hak korban dilindungi tanpa mengabaikan keadilan bagi tersangka,” urainya.

 

Selly juga mendukung percepatan proses hukum karena proses hukum yang berlarut-larut hanya akan memperpanjang penderitaan korban. Oleh karena itu, penegak hukum harus bekerja dengan cepat dan teliti dalam menyelesaikan kasus ini.

 

“Mari kita kawal kasus ini agar kebenaran terungkap, demi mewujudkan Indonesia terbebas dari kekerasan seksual”

 

“Kita sepakat bahwa tidak ada toleransi terhadap tindak kekerasan seksual. Siapapun pelakunya, semua sama di mata hukum. Dan untuk mengetahui kebenarannya, diperlukan mekanisme yang adil bagi semua pihak,” ucap Selly.

 

“Kita tidak ingin kasus kekerasan seksual yang telah menjadi fenomena gunung es di Indonesia semakin parah lagi. Maka dibutuhkan dukungan dari semua pihak untuk bisa melihat setiap kasus secara adil,” tambahnya.

 

Laporan sinergi data kekerasan terhadap perempuan yang melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Komnas Perempuan, dan Forum Pengadaan Layanan (FPL) menyatakan, sudah ada sebanyak 15.621 kasus perempuan yang menjadi korban tindak kekerasan sepanjang 2024.

 

Selly mengajak masyarakat untuk mengawal kasus pelecehan seksual di Kota Mataram tersebut dengan menghargai proses penegakan hukum yang sedang berjalan. Hal ini untuk memastikan keadilan bisa tercipta bagi semua pihak, dan kasus-kasus kekerasan seksual dapat semakin diminimalisir.

 

"Mari kita kawal kasus ini agar kebenaran terungkap, demi mewujudkan Indonesia terbebas dari kekerasan seksual," pungkas Selly. (uc/rdn)

BERITA TERKAIT
Marwan Dasopang: Anggaran Visa Haji Dobel Harus Diusut Secara Hukum
09-01-2025 / KOMISI VIII
PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Marwan Dasopang, mengungkapkan bahwa salah satu...
Komisi VIII: Prabowo Belum Puas Penurunan Biaya Haji 2025, Harapkan Lebih Rendah Tahun Depan
08-01-2025 / KOMISI VIII
PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang menjelaskan bahwa Presiden Prabowo belum puas dengan capaian penurunan Biaya...
DPR Ajukan Permohonan ke Prabowo: Lobi Pemerintah Saudi Tambahkan Kuota Haji
08-01-2025 / KOMISI VIII
PARLEMENTARIA, Jakarta – Sejumlah Pimpinan dan Anggota Komisi VIII DPR RI yang tergabung dalam Panja Biaya Haji 2025 mengunjungi Istana...
Optimalisasi Pelayanan, Komisi VIII Laporkan Hasil Panja Biaya Haji 2025 kepada Wakil Ketua DPR
07-01-2025 / KOMISI VIII
PARLEMENTARIA, Jakarta - Panja Biaya Haji 2025 Komisi VIII DPR RI menyampaikan laporan kepada Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco...