DPR Terima Masukan Pakar Terkait RUU Pilkada
Komisi II DPR menerima masukan dan pandangan berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)dari beberapa diantaranya Prof. Dr. Maswadi Rauf, Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, dan Dr. Cornelis Lay di DPR, Kamis (14/3).
Menurut pandangan dan masukan dari Prof. Dr. Maswadi Rauf yang berkaitan dengan mekanisme Pemilihan Kepala Daerah, terdapat beberapa pertimbangan yakni pemilihan dilakukan DPRD akan ada penilaian bahwa demokrasi menurun atau mundur. Jika melihat UUD 1945 hasil perubahan presiden dipilih langsung yang merupakan peningkatan kualitas demokrasi.
“Pejabat politik yang dipilih langsung, secara demokratis jauh lebih baik daripada perwakilan, hal ini berlaku bagi pemilihan kepala daerah,”tegas Maswadi dihadapan rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi II DPR Abdul Hakam Naja.
Jika dipilih DPRD, tambahnya, tidak berarti persoalan akan berkurang atau menjadi lebih baik seperti money politik. “Pemilihan oleh lembaga perwakilan sama halnya pemilihan pejabat oleh elit politik, bukan kehendak rakyat, tetapi alasan perubahan agar dipilih oleh DPRD berdasarkan riil seperti voter turn out yang semakin menurut, maka hal itu dimaklumi dan memang ada yang salah,”jelasnya.
Dalam hal sistem paket, ujarnya, terdapat paket kepala daerah dan wakil kepala daerah memang menimbulkan masalah seperti tidak harmonis, apalagi yang tidak berasal dari satu partai, hal ini menurutnya merupakan hukum alam yang tidak bisa dihindarkan dan perlu dilakukan perbaikan.
Ia pun mempertanyakan, sejauhmanakah diperlukannya wakil kepala daerah mengingat yang terjadi tidak adanya kejelasan peran dari wakil kepala daerah dan seringkali wakil kepala daerah tidak menjalankan fungsi penting dalam pemerintahan, sebaliknya wakiln kepala daerah lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya, untuk itu harus dijelaskan perlunya wakil kepala daerah.
“Lebih baik posisi wakil kepala daerah tidak ada, sehingga hanya ada satu pemimpin dimasing-masing daerah. Pelaksanaan pemerintahan didaerah jika kepala daerah berhalangan sementara, Sekretaris Daerah bisa menjalankan pemerintahan dan akan lebih menyederhanakan, dan yang perlu diperjelas bagaimana model penggantian kepala daerah sebagaimana penggantian Presiden,”ujar Maswadi.
Mengenai politik dinasti, kata Maswadi, yang perlu dilakukan adalah pembatasan persyaratan terutama syarat pengalaman dan pengetahuan.
Selanjutnya, menurut Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, terhadap politik dinasti perlu diatur melalui pola seleksi yang baik berdasarkan kriteria-kriteria.
Mengenai system paket atau tidak paket Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah, dalam konsep local eksekutif, ada mono eksekutif atau plural eksekutif. “Jika ada wakil kepala daerah hanya administratif dalam mono eksekutif, sejarahnya Indonesia mengenal mono eksekutif, tapi mulai UU No.22/1999 lupa wakilnya berasal dari partai politik juga,”terang Irfan Ridwan.
Jika menggunakan plural eksekutif akan menjadi saingan DPRD karena prose pembahasan peraturan akan melibatkan berbagai pihak. “Sebaiknya konsisten jika menggunakan mono eksekutif, tentang sumber wakil itu hanya bumbu-bumbu saja. Plural memungkinkan kontrol lebih banyak,”tegasnya.
Selanjutnya, menurut Dr. Cornelis Lay terhadap paket Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terdapat ketidakharmonisan data, sehingga perlu dikaji jika hanya sebagai pembenaran bahwa birokrasi boleh masuk. “Jadi paket tetap bisa jalan, yang perlu diatur adalah pembagian kewenangan,”tegasnya.
Terhadap dinasti politik atau hubungan darah, sudah terbukti mempunyai implikasi sangat serius, dan perlu diatur adalah akibat yang ditimbulkannya, dan setuju ada pembatasan temporer, dan selanjutnya dikaji secara serius.(nt)